Menggali Sebutan "Zaman Edan", Benarkah Itu?

Ilustrasi: Kumparan.Com

Zaman sudah edan, begitu suara yang nyaring terdengar. Tentu bukan tanpa alasan, setidaaknya itu karena realitas sosial yang penuh paradoks. 

Pelacuran marak, perzinaan bejibun, pemerkosaan banyak, suap dilakukan terbuka, agama hanya jadi alat mengeruk kepentingan, korupsi merajalela, anak membunuh orangtua dan sebaliknya, yang benar dicurigai dan yang rusak dihargai, dan masih masih banyak lagi kenyataan yang memburamkan peradaban manusia.

Sehingga ini jadi hipotesis di tengah krisis iman dan kepercayaan diri. Kesucian moral banyak jadi ocehan, akan tetapi dalam kenyataan hanya jadi tameng kedunguan tersembunyi.

Lalu, benarkah sebutan itu?

Perlu untuk digali dan mendiskusikan lebih dalam tentunya. Hanya sederhananya saja kalau kita membaca buku-buku Ulama dahulu dan ilmuan nyatanya paradoks di atas sepertinya biasa. Biasa dalam artian sudah ada.

Kita bisa merujuk buku Imam Ghazali berjudul Ihya 'Ulumuddin. Di sana banyak dipaparkan betapa peradaban Islam mulai memudar. Kenyatan itu berimplikasi pada kerusakan moral. Raja banyak senang huru-hara, keadilan jadi barang mahal, dan rakyat selain jadi komoditas juga kehilangan pegangan moral. Hal disebut paradoks terjadi di masa itu.

Di buku Imam Ibnul Jauzi pun sama disebutakan bagaimana Ulamanya yang dekat pada penguasa hingga hilang marwahnya, kesewenangan pemimpin negara, dan kenyataan serupa yang juga terjadi. Hanya beda rupa dan jenisnya saja.

Atau kita merujuk pada sejarah hidup Nabi dan sebelum turunnya perintah kenabian, kita bisa menelaah bagimana laku lacur selalu ada. Hanya beda masa dan bentuknya saja. Satu lagi, di masa Nabi keberkahan turun dan naungan Ilahi amat nyata terasa. Tak lain karena sosok Nabi yang istimewa. Kita tidak tahu kerusakan macam apa di luar Makkah dan Madinah?

Atau kita merujuk pada buku Youfal Noah Hariri penulis terkenal Homo Sapien dan Homo Deus. Di sana juga dicatat masa pra-sejarah bagaimana manusia agar bertahan hidup; Bagamana cara bisa eksis agar kelangsungan hidup tetap ada; Ragam eksperimen dilakukan. Pembunuhan adalah barang biasa. Adagium siapa kuat dia menang itu nyata ada.

Bergeser peradaban manusia, liku konflik terus terjadi dan hakikatnya sama. Sama-sama merugikan. Kalau hari ini kita menyebut Zaman Edan, maka itu ketinggalan zaman karena di masa lalu pun terjadi apa yang kita lihat sekarang. Cuma beda bajunya saja sesuai peradaban yang ada.

Oleh karena itu, kalau kita masih menyebut kerusakan moral sebagai ciri Zaman Edan perlu kiranya dicari padanan datang apa dan darimana. Tak hanya modal asbun.

Bukan tidak mungkin di era sekarang pun kita bisa merubah abad kejayaan dan kemakmuran akan terasa asal mau sama-sama bekerja, turut andil mewarnai dunia, dan menyisingkan ego negatif di jiwa.

Sayangnya keserakahan telah membutakan tekad dan nurani. Padahal iptek makin bersinar tapi sebagian sikap dan langkah barbar masih vulgar terlihat.

Dengan ini kita bisa mengatakan: bukan zamannya yang edan tapi manusianya yang edan karena kosong iman juga tak mau melangkah melebarkan persahabatan tulus demi nasib sejahtera dunia.

Namun, ini hanya asumsi sederhana saya bukan sebuah telaah pasti lagi ilmiah. Mau percaya atau tidak sependapat juga terserah. Intinya, mari warnai dunia dengan wajah penuh ketulusan. (*)

Pandeglang |  7 Desember 2021

Posting Komentar

0 Komentar