Membaca Esensi Taat Pada Orangtua


Menyaksikan orang-orang yang mengabikan orangtua sering membuatku termenung sekaligus emosi. Suara itu menyeruak pada: apa tidak bisa mengurus;  kalau orang sudah sepuh apa wajar meminta sandaran pada anaknya; tidakkah tersisa rasa ingin menjaga?

Tak hanya itu, asumsi liar nampaknya makin banyak timbul. Bisa jadi panggilan moral atau aku saja yang belum tahu seperti apa rasanya menjadi pialang yang dibicarakan. Atau tantangan menjadi anak yang ideal.

Kesan ini bisa dilihat dalam film atau sinetron yang tiap hari tayang di layar kaca kebanyakan menampilkan kualitas jelek pada orangtua. Setelah itu digugu, jadiny menyuburkan praktik tak bagus pada adab anak bangsa.

Semua buyar sudah setelah mengalami bagaimana sulitnya menjadi tempat berteduh orangtua. Bentuk muaranya: Kita yang tidak muda lagi, keajaiban yang banyak, pikiran berkelana dengan macam beban; di sisi lain orangtua dengan usia yang beda juga, keinginan kadang aneh-aneh benturan dengan kenyataan. Cukup sudah jadi bumerang koflik keluarga.

Hal ini banyak melahirkan kontradiktif. Entah kenapa seperti tertohok pada ujaran seblumnya bahwa membantu serta membaktikan pada orngtua tak boleh setengah-setengah. Teori tak semudah daam praktek.

Kenyataannya tidak mudah. Tak semanis memakan gula lantas tersenyum dengan gigi terlihat amat menarik. Tidak semudah itu.

Mungkin ini jawabannya kenapa kebenaran dari hadits Nabi yang mengatakan bahwa ridha Allah terletak pada ridha orangtua. Betapa  'ketaatan kita' pada orangtua harus sinkron antara akal, emosi, terebih pada aturan syara' yang menginkat. Bukan main-main.

Oleh sebab itu, kalau ingin maksimal perlu proses dan latihan. Tak mudah bukan berarti musthil bukan? 

Hmm, gimana masih ngeluh? []

Posting Komentar

0 Komentar