Selayang Pandang "Sikap Keras" Habib Bahar bin Smith yang Viral

Foto: perdebatan panas Habib Bahar dengan anggota TNI yang Viral
--

Sosok Habib Bahar kembali mencuat ke publik saat berdebat panas dengan petinggi TNI di depan pondok pesantrennya, di Bogor, Jawa barat.

Tak lain dipicu terkait sikap dan gaya Habib ceramah yang 'memekakan telinga' pendengar yang tak sejalan.

Kesempatan itu Habib mengkritik-- bagi yang tak sejalan mempermalukan-- elit TNI pusat. 

Untuk meminimalisir konflik atas ceramah yang mengarah pada provokatif lagi menghembuskan api permusuhan, danrem itu datang serta mau menasehati Habib.

Akan tetapi Habib tidak terima karena baginya keluar dari tupoksi TNI. Ditambah dengan pakaian dinas dan perangkat yang dipakai elit TNI itu seolah ingin menunjukan pangkat juga ancaman.

Kita paham sekali niat datangnya ke Habib. Akan tetapi di lihat dari sudut etika, arah kritik juga sikap datangnya ke pesantren tersebut kurang ideal. 

Kalau memang benar mau memberi wejangan, kritik, atau saran kenapa tidak datang di waktu yang jauh dari sorot mata warga dengan pakaian yang pastinya sesuai. 

Tidak memakai pakaian dinas. Misalnya di malam hari sambil ngopi lagi ngerokok. Bincang-bincang hangat lagi menenangkan untuk dua pihak yang seteru.

Hadirnya di depan warga sekilas lalu hanya cari sensasi atau melecut konflik. Sebab tanggapan serta reaksi tak selalu sama dengan rencana.

Sikap dan gaya ceramah  Habib memang "keras" atau bahasa lain "amat tegas". Kita sama tahu itu. Lagian bisa jadi itu ciri khas atau karakter dirinya. 

Tiap orang berbeda karakter. Itu hukum alam. Sudah sama kita pahami. 

Oleh karena itu, tak bisakah kita yang sudah sama menjalani warna dalam realitas sosial mencari apa sebab dan latar belakang atas "sikap keras" itu?

Dalam konteks ini kita harus menggali apa sih alasan besar Habib Bahar, Habib Rizieq atau sejenis pandang berani Rocky Gerung kepada elit bangsa serta lainnya yang vokal.

Kita sungguh perlu menyikapi dengan bijak. Formalnya kan, suara mereka telah diberi ruang di publik. Ada instansi negara disiapkan. Kenapa harus nakal, kenapa harus lantang, dan kenapa terus muncul.

Bagi saya ini lebih menarik daripada memainkan narasi tak sehat di media, membunuh karakter atau menyeret pada kasus hukum.

Hukum selalu jadi pelampiasan awal dan seperti ketakutan masal orang sipil bersuara. Hukum jadi alat tumpul mematahkan kebebasan. Memenjara suara kritik tegas-- mengarah pada keras.

Lucunya, kita ada di negara demokrasi. Bagi siapapun tidak akan lepas dari kritik. Diberi ruang. Tentu saja kalau ada masalah, tak hanya hukum harus menggertak! 

Kita punya budaya yang telah hidup. Bagian dari kearifan lokal, yakni mengedepankan sikap kekeluargaan. Ngopi bareng sambil bincang satu solusi di bawah pengapnya realitas penuh perdebatan.

Itu budaya kita. Itu warisan mahal pendahulu. Yang entah sekarang, sementara orang lebih mengdepankan hukum jadi pintu utama menyadarkan orang. Lebih keras. Lebih galak. Lebih menakutkan.

Memang benar negara telah menyedikan sarana dan pos untuk mengutarakan kritik, sayangnya, seperti yang kita tahu oknum berdasi tumbuh subur di pos sentral pada nyatanya merusk pos-pos yang disediakan negara.

Keadilan menjadi buram karena kepentingan. Habib tidak seutuhnya benar, ada hal yang perlu kita pelajari lagi diperbaiki

Tetapi antusiasme atas sikap Habib bisa jadi menjadi perwakilan dari masyarakat yang merasa terwakili. Bagaimana hal buram terus terjadi dengan perangkat hukum dan delusi jadi kenyataan.

Sampai di sini, mari budayakan budaya lokal agar hukum tidak jadi ajang memukul lawan tak sependapat. []

Posting Komentar

0 Komentar