Potret Prostitusi: Antara Gaya Hidup dan Terjebak?!


Kembali publik Indonesia digegerkan akan kasus prostitusi di jajaran artis ibukota. Deretan nama telah mencatatkan namanya, kini bertambah dengan ikut terceburnya artis cantik inisial CA yang masih 23 tahun.

Rasanya tidak kaget lagi, betapa mahal sebuah gaya hidup. Meski pendapatan artis besar, jadi model pun sama, pada akhirnya harus terpenjara lagi oleh kepentingan semu.

Sebanyak apapun tidak cukup-- tak pernah akan cukup pastinya. Karena ada sudut pandang berbeda memandang rizki. Pada wujudnya menjadi bumerang dalam kenyaataan.

Tentu saja kehormatan dan kesuciaan yang "diperjulbelikan" tidak seimbang dengan harga asli pemberian Allah jalla jalaluh. Tak ada bisa menggambarkan anugerah tersebut.

Caci-maki dan torehan hitam hidup telah disematkan padanya. Patut kita kasihani dan tidak perlu terus dihujani hujatan. Percayalah, kalau ia sudah menyesal akan kembali pada jalan yang diharap.

Ada hal yang patut kita ketahui yakni tak semua yang tercebur di dunia prostitusi (baca: pelacuran) itu karena gaya hidup atau sengaja tersesat. Selain faktor ekonomi, faktor lain pun sering terjadi.

Trafficing human dan perbudakan sebab jebakan termasuk faktor. Bisa karena utang, janji kerjaan enak, paksaan orangtua, dan seabreg formula yang memekakan telingan.

Jangan jauh-jauh ke Jakarta, di alun-alun Serang tak sedikit yang menawarkan "surabi" di malam pekat nan sunyi. Cukup dengan beberapa rupiah di tangan maka disuguhi fantasi dengan durasi tercatat. 

Begitu mudah. Begitu murah. Menyingsikan rasa malu. Menutup diri akan nasib kelak di satu masa. Bagaimana nasib anak-cucu ke depan tak jadi elemnsi prisisip.

Ditutupi demi dapur ngebul, kebutuhan yang melonjak, dan aneka beban hidup yang mencekik derita rakyat jelata.

Sialnya itu nyata dan ada!

Hal mencekam pernah saya baca juga dalam novel Perempuan di Titik Nol. Disadur dari cerita nyata seorang wanita yang terjebak dalam lakon hidup berat.

Lahir dari keluarga miskin dan orangtua kurang ideal. Betapa kelaparan dan tangis akan derita jadi tontonan.

Sebuah peristiwa di tahun 70-an. Tokoh utama Firdaus. Lokasi Mesir. Wanita malang yang terombang-ambing keadaan. Pertama mendapat pelecehan dari pamannya, seorang mahasiswa Al-Azhar. 

Dipaksa menikahi "tokoh agama" pelit lagi keras. Sudah tua dan sepuh. Tetap saja nafsu berahi tinggi dengan rasa bakhil tinggi. Siksaan serta pukulan menjadi aktivitas Daus.

Puncaknya ia dijadikan sapi perah kehausan seks lelaki pendiam lagi bejat. Terus begitu sampai ia jadi PSK kelas elit dengan pelanggan orang penting.

Semua telah ia miliki, hanya satu belum didapatkan: kententraman hati.

Betapa banyak uang, banyak relasi, hebat diranjang, paras cantik nan mempesona tak jadi ukuran kebahagiaan itu lahir.

Dunia sama seisinya hanya jadi ajang pamer. Esensi tak ada. Lupa pada hakikat Allah mencipta manusia untuk apa.

Sebuah titik curam kehidupan. Realitas sampai kini masih menjelma menjadi "rumah pelarian" bagi jiwa sunyi lagi kerontong imannya.

Ironis juga memprihatinkan. Konyolnya, wanita yang selalu disalahkan karena rela menjadi komoditas pemuas nafsu hewani. Padahal semua terjadi tali menali. Ada rantai agar lancar. 

Atas kasus ini patut kita mengambil ibrah bahwa menjalani hidup itu berat. Akan tetapi ada yang lebih berat yakni mudah bersyukur dan menjalani di rel yang putih. 

Banyak dari kita mudah dan terus mencaci. Di pihak lain lupa bahwa segala peristiwa berkelindan karena sebab. Konyolnya tak mau menatap diri yang terus alfa  dan berkenan memperbaikinya.

Semoga yang teribat dibuka nurani kesadarannya lagi, yang masih agar taubat, yang akan nyemplung dirangkul agar memahami jalan terbaiknya. Kita yang menyaksikan mampu mengambil titik moral agar selalu di jalan yang Allah ridhai. Wallahu a'lam. []

Pasar Pandeglang |  1 Januari 2022

Posting Komentar

2 Komentar

Menyapa Penulis