Isu Panas Modernisasi, Arabisasi, Pribumisasi Maupun Islamisasi


Sebenarnya, isu di atas sudah usang. Pernah menggegerkan jagat nusantara di paruh tahun 70-an. Bagaimana seoarang Cak Nur, ketua HMI saat itu, mengangkat isu ke permukaan terkait Modernisasi-Westernisasi.

Katanya pula, kita umat Islam fine saja menerima modernisasi sebab itu bagian dari dinamika peradaban dunia. Tetapi tidak dengan westernisasi (kebarat-baratan), karena hal itu bisa merubah jati diri kita sebagai ummat dan bangsa sehingga tak memiliki pegangan moral.

Tulisan itu disambut hangat aktivis Islam, terutama eks-kalangan Masyumi. Cak Nun dapatan julukan Natsir kecil, muda, junior atau apalah. Tak lain isinya relevan dengan kehendak "kaum tua" kala itu.

Namun, tak lama pasca kunjungannya ke Amerika, Cak Nun mengangkat isu yang berbeda. Kalau sebelumnya hati-hati dengan 'barat', maka selanjutnya lebih terbuka dengan barat atau menganjurkan kita meniru dengan 'budaya barat' yang impulsif, futuristik lagi inovatif.

Tulisanya pun kembali menggerkan jagat nusantara. Bukan lagi puji yang dia dapat tetapi kebanyakan caci maki dari yang tak sejalan. Tanggapan dan ancaman jadi tontonan untuk masa yang lama.

***

Terkait Pribumisasi Islam, bukan lagi Islamisasi---- atau sekarang Islam Nusantara, mulai dikenalkan Gus Dur ke publik sebagai respon dari gerakan 'Meng-arabkan/arabisasi' ke kampus umum yang mulai intens hadir diparuh 80-an.

Tak ayal,  tulisan inipun jadi perbincangan hangat kawula pemikir. Anggapan mereka, Gus Dur kurang respek dengan Islam atau anti Islam. Kembali memanas dengan artikel muda NU, Ulil Absar Abdala kisaran tahun 2002.

Seperti yang saya katakan, melihat jejak yang ada, ini isu lama. Tak ada yang aneh. Mirisnya, isu ini kembali menjadi panas di tengah pemikiran sekarang. Dengan bumbu berbeda, wujud yang lain, tetapi esensinya sama saja.

Menarik mungkin bagi mereka yang masih hijau dengan dunia pemikiran, tidak bagi mereka yang melek dengan sejarah bangsa. Lucunya, yang amatir merasa paling tahu.

Tak jarang, karena memandang isu ini secara serampangan hampir membuat class civilation atau pembenturan kelas di ruang publik.

Miris!

Kalau ditelisik: baik Islamisasi, pribumisasi, arabisasi, modernisasi sampai westernisasi itu 'tujuannya baik',  hanya saja, menjadi blunder ditumpangi kepentingan semu dan oknum tak kasat mata.

Isu arabiasi misalnya, bisa diterka arahnya ke mana. Bisa jadi banyak kalangan yang risau dengan gerakan dakwah yang kurang 'memperhatikan kearifan lokal'. Seolah Islam itu Arab dan budaya selain Arab itu tertolak, bagaimanapun bentuk dan warnanya.

Padahal, keduanya berbeda tetapi memiliki makna yang tak selalu bertolak belakang. Singkatnya, tergantung kita meihatnya dari sisi mana. Kalau negatif terus, ya begitu saja. Kalau membuka cakrawala lebih luas, beda lagi ceritanya.

Modernisasi, saya yakin kita menerima, toh itu bagian perabot kebutuhan. Asal tidak bersinggungan dengan akidah kita.

Tetapi dengan liberalisme, pluralsime, sekularisme tunggu dulu. Bahkan sekelas Cak Nur kalau kita telaah menolak dengan keras.

Sekularisme dan sekularis itu dua hal yang beda. Bedanya pada penambahan kata isme.

Seperti yang Cak Nur katakan, sekularisme itu paham yang bebas  yang tidak percaya dengan adanya hari kiamat. Sederhananya kaidah agama. 

Berbeda dengan sekularis yang mana agama memiliki tempat khusus,  bidang kajian berbeda dengan negara.

Mereka yang meyakini sekularis mengajak kita untuk bisa mengatur; mana wewenang agama dan mana wewenang negara. Jangan sampai gado-gado. 

Benang merah dari problem ini, hemat saya, terletak pada formulanya. Apakah itu dimasukkan pada "fisik agama" itu sendiri atau pada "nilai dinamisme" esensi agama.

Pembicaraannya bukan lagi kamu sesat, tetapi alasan besar lahirnya pemikiran itu karena apa. 

Apa demi tegaknya nilai luhur agama? Demi tercipta humanisme lagi harmonisasi ajaran agama? Atau mungkin, karena 'egoisme' sempit memandang sesuatu perubahan. Padahal bisa jadi itu berguna untuk bekal dakwah. 

Saya kira, ini yang perlu dibicarakan, bukan lagi menghakimi, tanpa ada esensi dalam dinamika dunia pemikiran islam yang kompetitip lagi produktif.  (*)

Pandeglang | 11 Februari 2022

Posting Komentar

0 Komentar