Catatan Tentang Hujan Pagi

Pagi ini, Pandeglang tengah hujan turun deras membawa gigil dan rasa malas untuk beraktivitas dari semalam.

Tak hanya di sini, di kota besar lain pun kayaknya sama. Kalau boleh ingin sekali duduk malas sambil baca buku atau tepar menikmati alam mimpi.

Pada akhirnya, kebutuhan mencuri rasa malas, Terpaksa bangun. Mata merah menahan kantuk yang menyapa.

Tadi malam, ada suadara dari Jakarta nengok neneknya. Karena ada yang harus dibicarakan sampai dini hari berdiskusi terkait  jodoh kakaknya yang belum jua hadir.

Padahal sudah cukup usia. Terlebih ia wanita, sosok yang sering kena marginalisasi sosial.

Saya kasihan mendengarnya, apalagi setelah mendengar alasan banyak gagalnya calon yang menyapa.

Dari pembicraan tadi malam saya menyimpulkan ada dua hal yang perlu direnungkan, yaitu :

Pertama, tidak sinkron keinginan orangtua dan anak

Saat si anak tlah menemukan calon yang tepat seharusnya orangtua bisa memberi sikap pas. Respon rangtua itu bisa memberi secuil yakin dari rasa ragu anak.

Tetapi, anakpun tidak boleh juga 'merasa sudah dewasa' lantas melalaikan dan tidak melibatkan keputusan besar pada orangtua. Ini kerlaluan.

Solusi dari ini adalah perlu adanya intesitas dialog dalam ragam tema dan hal apapun. Hal ini setidaknya bisa meminimalisir konflik yang ada.

Orangtua gak sok jumawa dan anak tak boleh egois. Keduanya harus memahami haknya. Memaksa hanya membunuh kemerdekaan dan ini tak memberi arti apa-apa.

Kedua, menentukan calon itu niat dan tujuannya apa?

Saya curiga, rata-rata orang yang sukar menmukkan joodoh itu bukan karena "tidak ada jodohnya", tetapi lebih kepada keinginan fiktif dirinya.

Keinginan yang dilandasi angan semu untuk masa dpan yang cerah macam orang lain. Tak jarang, ini menjadikan penysesalan di akhir nasib.

Kenapa tidak dipemudah saja, niat nikah itu untuk ketemu sosok yang tetap lagi cocok dengan tujuan murni menemani untuk melahirkan generasi unggul.

Sudah begitu saja, tak usah diembeli dengan frasa atau keinginan semu. Cuma sayangnya, sebagian kita telah buta oleh "potret terkini" yang serba material. Seolah itu jaminan nasib hidup dan kesejahteran hakiki.

Kita tahu, orang kaya pasti harapan tiap orang, tapi seharusnya bukan jaminan di masa akan datang cita hidup tercapai karenanya. Pada jadinya, tanggung jawab dan komunikasi hangat menjadi hal intim penentunya.

Sejujurnya, saya terusik akan kenyataan terkait ini. Tetapi tidak bisa berbuat terlalu lebih lagi, takut kalau ucapan saya hanya asumsi yang nyasar dan belum punya taji. Semoga dipermudah deh, kakak! (*)

Pandeglang |  6/2/22

Posting Komentar

0 Komentar