Seharusnya Ini Momentum Kita Dewasa

"Aku tak ingin dewasa. Aku ingin tetap menjadi masa di mana aku tersenyum. Ceria. Tidak dibebani apa-apa," penggalan dari seseorang yang amat saya tahu. Saya jadi serba salah. Lahirlah tulisan ini.

Dewasa, apa sih dewasa? Mungkin kita akan berbeda. Beda orang beda asumsi. Barangkali kita akan sepakat bahwa dewasa adalah proses kematangan berpikir dan bersikap. Dan itu, tidak kenal usia.

Mungkin kita pernah suatu hari melihat, ada orang secara umur dan fisik kecil tapi berpikir di luar kapasitasnya. Bisa jadi karena tuntunan keadaan---kemiskinan atau tekanan hidup---atau karena memang dewasa sebab ilmu. Seringkali ilmu dan pengalaman membuat orang dewasa.

Sampai di sini, kita sepakat. Minimal mau sepakat ya, bahwa dewasa tidak kenal usia. Biar membenarkan kata mutiara yang sudah terlanjur tersebar, bunyinya gini, "Dewasa itu tidak kenal usia."

Kita pun sudah pula menyaksikan orang tertentu bertindak konyol karena tidak mendapatkan apa yang dia mau. Padahal dia secara usia sudah cukup, apalagi fisik. Pembunuhan yang terjadi di Maja, Pandeglang sempat menggegerkan Banten dan sekitarnya, motifnya karena tidak dewasa menyikapi perasaannya yang tertolak. Sederhana tapi efeknya luar biasa.


Dan masih banyak lagi kasus-kasus yang bisa kita temui. Dewasa pun mengingatkan saya kepada adik saya yang merajuk karena dilarang untuk buka bersama dengan teman-temannya. Emak melarang karena uangnya itu kok terkesan disalahgunakan untuk hal yang esensial.

Kenapa harus buka bersama kalau di rumah ada keluarga yang ramai untuk bukber bareng? Untuk apa bukber sama teman, kalau tiap hari ketemu? Sederhana sekali soalnya. Lantas kenapa harus merajuk dan marah-marah tiada guna? 

Saya pun teringat setiap buka puasa, adik yang paling bontot, merajuk. Dia merajuk kalau beli Chiki Snack, harusnya berhadiah tapi gak pernah dapat. Giliran teman-temannya ada saja yang dapat. Dia pun merajuk dengan keinginannya atau tugas yang diberikan guru. Ya. Belum dewasa.

Saya lupa, ada ayat di surat Yasin menerangkan terkiat proses pola pemkiran manusia, dari bayi ke anak-anak ke dewasa nanti tua. Pikun. Kembali di masa di mana awal kekanak-kanakan. Psikolog membenarkan ini, bahwa dinamisme terhadap pola pikir manusia memang ada faktanya.

Terus, kenapa ada yang mau tidak dewasa?

Singkatnya, karena tengah terpuruk atau belum tahu sesungguhnya untuk apa Allah diciptakan manusia di dunia. Apa untuk main-main? Sekedar mengingatkan, bukankah untuk ibadah? 

Ibadah itu harus dilakukan oleh mereka yang punya akal. Tepatnya mereka yang menggunakan akal. Memahami Al-Quran tidak sesederhana yang mungkin kita tahu, selain memnbacanya harus benar, menggali isinya pun penting. Di dalamnya pun Al-Quran menyajikan ragam ilmu dan informasi: ada matematika, bahasa, sastra, antropologi, sejarah dll.

Dan itu perlu pendewasaan. Tidak boleh bayi memegang mushaf, begitupula anak-anak kalau diyakini akan merusak kehormatannya. Begitu di kitab at-Tibyan diterangkan. Itu baru memegang. Masa iya, kita akan betah berpikir macam anak kecil?

Di ramadhan ini, mari kita merenung. Merenungkan sikap kita. Saya tidak meng-klaim sudah dewasa, saya pun tengah berproses. Kita pun harus pandai menempatkan, dunia anak-anak itu untuk bermain. Remaja untuk mencari jati diri menuju pendewasaan. Pemuda untuk aktif mengelola sikap dan dirinya dengan dewasa. Dewasa atau menikah misalnya, ini pematangan sikap. Nanti menjelang senja mulai tahu diri dan lebih bijak.

Inilah hidup. Kita gak bisa mengatur semau kita. Kita hanya berikhtiar. Semuanya ada di qodo dan qodar-Nya. Untuk itu, sadarlah, kita hamba. Nikmati selagi bisa. Syukuri selagi mampu. (**)

Pandeglang, 8 April 2023   13.11

Posting Komentar

0 Komentar