Rumah Dunia Juga Merasakan Ditinggalkan

Dokumentasi pribadi

Rumah Dunia tadi sepi, hanya ada aku dan Kang Fuad. Kelas menulis terjeda, sebagian relawan tengah menghadiri pernikahan di Baros. Aku pun cerita ke Kang Fuad tadi ngos-ngosan berangkat mengantarkan adikku ke kampus Untirta Pakupatan. Ya, maksudnya itu pengalaman perdana.

Untuk membunuh sunyi aku ngobrol dengan Kang Fuad selebihnya membaca buku kumpulan cerpen Mas Gol A Gong dkk,. dengan judul Peti Mayat Koruptor, Gong Publishing, Februari 2020. Sesekali menulis, sesekali menunggu balasan chat.

Aku merasa sendiri. Sendiri menyepi dari panasnya Serang. Udara Hegar Alam memelukku imajinasi. Ditambah segelas minuman dingin dengan hentakan lagu pop membuatku hanyut memikirkan banyak hal.

Di depanku anak-anak bermain ringan, ibu muda setia menunggu. Ada banyak yang aku ingin lakukan tapi aku bingung melakukan yang mana. Rumah Dunia masih sunyi. Syukur, hatiku tidak sunyi, udara memamg panas tapi aku tersenyum sebab mentari bukan membakar jiwa. Ia hanya membakar mereka yang tidak tahu tujuan hidupnya.

Tidak lama, datang rombongan pada datang itulah Kang Salam, Kang Hilman dan lainnya. Rumah Dunia kembali hidup. Oleh tawa, obrolan dan senyum ceria. Sayangnya, hanya aku yang lain di sana. Kelas menulis merana oleh kehadiran anggotanya, "Wahai, kemana kalian?"

Tujuanku ke Rumah Dunia untuk belajar, belajar apapun yang aku bisa. Tak peduli itu ada anggota atau tidak. Setidaknya aku bisa meminjam buku lagi untuk menambah wawasan. Bagiku bisa belajar adalah nikmat. Tiap minggu bisa berkujung ke RD adalah nikmat juga anugerah.

Alangkah rugi kalau disia-siakan. Meskipun aku sering merasa diteror dengan pertanyaan dari  orang dekatku, "Setelah dari belajar menulis mau jadi apa? Akan ke mana?"

Sungguh aku tidak sanggup menjawab. Niatku itu ikhtiar. Menggenapkan usahaku kalau aku bisa menulis dan berusaha untuk mumpuni. Kalau toh tetap begini apa itu bisa dikatakan sia-sia?

Bagi sebagian orang mungkin iya. Tiap minggu belajar belum menghasilkan apa-apa itu sia-sia. Seperti mereka yang empat tahun kuliah di kampus terkemuka, entah berapa uang dikeluarkan tapi belum menjadi apa-apa; pasti beban juga.

Perspektif yang aku lakukan sederhana, tugas seorang hamba itu ikhtiar semampunya urusan berhasil biarkan hak prerogatif Allah.  Aku merasakan sensasi kepuasaan saat berikhtiar, walau tulisanku masih mampir di blog saja. Tidak, aku tidak mau merasa rendah diri. 

KMRD tinggal beberapa sesi lagi akan berakhir. Akhirnya aku  ke mana dan di mana turut menentukan. Sepanjang pulang saat senja pergi meninggalkan malam yang gelap aku terus dihantui rentetan tanya,

"Aku siapa dan akan menjadi apa di perdaban ini?"

Kantung celana ku masih kosong oleh kepastian. Masih terlena oleh menerima. Tiba-tiba di wajahku melihat penulis terekenal dan dikenal, bisakah aku berada di antaranya?

"Mungkin sepuluh tahun kemudian penulis itu ditinggalkan," Kata Kang Salam menganalisis dinamika kondisi sosial sekarang.

Aku  lihat yang baik Kang Ubaidillah dan Kang Bewok mengaminkannya. Aku hanya tersenyum, mau gimana lagi kalau memang harus terjadi. Peradaban ini terus berlari maka kita bisa memilih untuk mengikutinya atau diam saja sambil mengutuk keadaan.
 
Ya sudah, sudah mengantuk. (**)

Pandeglang, 14 Mei 2023. 22.40

Posting Komentar

0 Komentar