Wirid

Ilustrasi dari alat untuk wirid. (Sumber Pixabay)

Seperti malam yang lalu, malam tadi aku pun masih terjaga. Mata mulai terasa lelah, tapi jum'at adalah malam penuh barakah. Biasanya di malam seperti itu aku menggejala, bersama buku-buku atau hanyut di tontonan, atau sesekali merenungkan hakikat mimpi.

Tapi tadi malam, aku merasa berbeda. Aku hanyut membaca wirid, aku menembus dunia rasa yang entah apa. Jiwaku seperti berada di satu titik yang dimensinya menenangkan, menentramkan, dan menghanyutkan jiwa pada keelokan sukma.

Pertanyaan yang menggumpal di jiwa yang selama ini membuat resah, risau dan galau begitu saja terjawab. Misalnya aku bertanya,

"Ya Allah, apakah aku harus memperjuangkan dia di sana? Aku tidak punya apa, entah harta, imu dan apa yang selayaknya memastikan pada orang yang disayangi nya, Lagi pula jarak terasa jauh sekali, apa itu pilihan terbaik?"

Aku seperti mendengar suara yang berbisik, "Ya, perjuangkan. Jalani takdir itu!"

Menjelang tidur pun senagaja sekali aku istikharah, meminta kemudahan jalan dan kepastian jiwa. Jika ia terbaik untuk diri, agama, keluarga, juga masa depan keturunan hamba-Mu ini, mudahkan ya Allah mudahkan. Tetapi sekiranya ia bukan yang terbaik, bukan terbaik untuk diri, agama dan masa depan hamba, jauhakan Ya Allah, Engkaulah yang Maha Tahu atas segalanya.

Di pucuk lelah itu aku tertidur. Di dalam tidur itu bermimpi bertemu dengan Gus Iqdam. Kiai muda NU dari timur Jawa itu tersenyum kepadaku dan memberi nasihat entah apa, tapi saya bungah. Di tengah bungah itu, aku pun terbangun di malam yang dini.

Setelah itu merasa seperti di satu keadaan entah apalah itu. Tak menyangka, wirid yang lama sering aku lupakan punya efek psikologis yang medalam.

"Aku akan berusaha dawam tiap malam," lirihku. (**)

Pandeglang, 24 Agustus 2023   17.42

Posting Komentar

0 Komentar