Mengupas Dua Esai di Kelas Menulis Rumah Dunia

Sedang menyusup di kelas menulis si Rumah Dunia ke 39 (sumber pribadi) 

Kemarin, rencananya saya mau mengembalikan buku yang sudah agak lama saya pinjam di perpus Rumah Dunia. Memang saya tahu ada kelas menulis di hari itu, tapi niat saya lebih kepada silaturahmi pun melepas penat dari aktivitas harian.

Tiba-tiba, saat saya iseng bergabung dengan teman-teman KMRD 39, di awal pertemuan, satu per satu ditanya siapa saja. Ternyata, saya diantara yang menjadi tamu baru nongol. Ditanyalah tentang komitmen sama Kang Ade, selaku pemateri, sampai kami tersudut sampai gak bisa apa-apa.

Hiks!

Jadilah ikut kelas dengan mendiskusikan esai: Hadiah Nobel dan Minimnya Anggaran Riset Kita dan Pandora Demokrasi. Beberapa dari kami diberi kesempatan untuk menanggapi dua esai itu.

Saya sendiri melihat dua esai itu tidak aneh ya, bisa dikatakan mungkin biasa. Esai pertama memaparkan hadiah nobel dan kemungkinan bisa kah kita (sebagai bangsa) mendapatkan anugerah Nobel.

Jawabannya mudah ditebak, sulit. Kita punya masalah anggaran, aturan dan perhatian pemerintah terhadap penelitian ilmiah itu agak minim. Tiga ini yang disoroti penulis esai itu.

Walau pun hemat saya, ada satu hal yang luput diperhatikan yakni keseriusan. Kita tidak kekurangan SDA dan SDM untuk mendapatkan nobel. Buktinya nama Pramudya Ananta Toer berkali-kali muncul dinominasikan. Entah kenapa tidak lolos. Pendeknya, kita punya kesempatan yang sama.

Masalahnya, mau serius tidak. Sebagaimana disentil Jon Fosse, peraih Nobel sastra 2023 mengatakan, " Anda tidak dapat menulis karena Anda berpikir akan mendapatkan Nobel. Anda pasti tidak akan mendapatkannya."

Saya pikir fokusnya bukan pada"menang Nobel" tapi bagaimana serius dan fokus berkarya. Muhammad Yunus pemenang Nobel dari Bangladesh, kita bisa tebak seperti apa pendapatan dan kondisi bangsanya. Soal anggaran penelitian pun mungkin jauh dari kita.

Justeru menangnya beliau karena peduli dengan rakyat kecil yang terlilit lintah darat yang mencekik wong cilik dengan bunga gila. Beliau prihatin. Membuatlah program pinjaman dengan meringankan aturan sampai kemudian punya bank sendiri. Aksi serius bukan sekedar anggaran.

Artinya anggaran dan kebijakan di pemerintah tidak selalu jadi alasan. Kesannya kok tidak punya mental petarung. Dikit-dikit dana. Dikit-dikit aturan. Eh, lama-lama terjun ke politik tujuannya untuk menyuarakan ini. Entah kemana kabarnya setelah dapat kursi empuk.

Sedangkan esai kedua menyoal paman Gibran yang meloloskan aturan baru terkait batas usia wakil presiden. Seperti penulisnya katakan, timingnya tidak tepat dan membuat kepercayaan kebanyakan warga negara geram. 

Akhirnya, Pak Anwar turun kursi karena sebagaimana dilaporkan kebanyakan akademisi, yang peduli kualitas demokrasi, telah melakukan manuver politik untuk ponakannya. Tak lain Gibran Rakabuming wakil dari Prabowo.

Bagi saya, ini juga potret KKN itu nyata. Kita selalu mengatakan, di masa Pak Harto KKN nyata, nah sekarang gimana? Lihat saja di tubuh partai politik kita, bukannya seperti dinasti kekausaan ya. Ada anak, mantu sampai cucunya di sana.

Pejabat publik pun sama, orangtuanya menjadi gubernur atau bupati. Anak dan saudaranya duduk di kursi panas menemani. Artinya apa? potret keputusan MK itu cerita klise di tengah demokrasi kita. Di bidang lain sama pula.

Padaa akhirnya, kalau mengambil benang merah dari dua esai ini adalah mental kita sebagai bangsa perlu terus digosok. Biar lebih cerah dan nyata. Sebagai bangsa kita tahu masalah negeri ini, masalahnya, mau seriuskah memperbaikinya.

Kalau istilah Kang Ade Jaya, maukah kita konsisten. Tidak hanya bicara, bereaksi tapi jua aksi nyata. PR-nya versi Ustaz Felix : Tinggalkan atau Halalkan.

Nyambung gak sih? Maksudnya, tinggalkan kalau sekadar berkata  atau lanjutkan kalau memang serius mau memperbaiki.

Silahkan memilih. Dan saya, memilih bersabar, berusaha, lantas kamu? (**)

Pandeglang, 14 November 2023   00.33

Posting Komentar

0 Komentar