Mampet Solokan

Ilustrasi dari selokan yang penuh sampah/ pixabay. Com

Minggu pagi, solokan pembuangan kamar mandi macet. Sebabnya ialah membuang sisa sayuran yang masih utuh. Sumbatan membuat air "nyangkrung" ke dalam kamar mandi. Segera aku turun mengecek keadaan.

Di suruh Emak sih. Aku coba dorong ampas sayur itu, ambil yang ada. Terus begitu. Aku pun melihat ke luar untuk memastikan arus solokan itu. Tidak butuh lama ketemu penyakitnya. Mau dimaksimalkan dibersihkan aku mepet waktu. Ya sudah, nanti saja, pikirku.

Kenapa harus dibersihkan? Karena banyak sampah juga sisa reuntuhan bangunan yang ada. Selokan itu sendiri digunakan keluargaku dan tetangga sebelah. Riwayat yang aku tahu muasal selokan itu sendiri masuk ke tanah keluarga kami.

Memang benar yang membuat itu tetangga kami, kami hanya menumpang. Ya, namanya soal ekonomi ya. Alhamdulillah mereka punya sedang kami masih proses mapan. Hal itu sebagaimana ucapan dari almarhum bapak tetangga kami ke Emak dan almarhum kakekku.

Isinya kurang lebih, tanahnya itu sudah mepet di bangun rumah. Solokan itu numpang katanya. Kalau nanti terjadi sengketa maka kami menang statusnya. Itu kata-kata Emak yang sering dikatakan.

Aku sendiri tidak terlalu mempersoalkan. Aku tahu ya sekedar tahu sih. Di pikiranku sederhana, yang penting saling mengormati dan menghargai, ya sudah. Walau pun sebagaimana manusia biasa ada saja sih jengkel menghinggapi.

Misalnya tadi pagi sebelum aku cek solokan itu ada tetangga kami itu yang woro-wiri ke sana. Kenapa tak tergerak untuk melakukan dan mensterilkan aliran selokan itu agat lebih lancar. Kadang aku aneh, nanti kalau ada masalah lagi-lagi kami disindir dengan kata-kata yang bikin panas kuping.

Di sini mungkin letak kepekaan dan kesadaran. Saat kita melihat apa yang mampu kita benahi, ya benahi. Tak usah menunggu sampai semua menjadi pelik.  Tak usah meletakan kesalahan pada orang lain, sedangkan kita hanya leha-leha.

Maksud tulisan ini apa? Tak lebih hanya mengungkapkan rasa heran, kadang ada jengkel sih. Aku tahu, ini hanya soal manejemen diriku saja yang masih labil. Kasus solokan renungan untuk aku, sepeninggal bapak aku harus lebih baik lagi. 

Selokan mampet aja seperti itu, apalagi mampetnya pikiran sehat ya. Bisa saja ketidakpedulian terhadap lingkungan wujud diri yang kusut berpikir sehat. Untuk hal kecil saja sulit, apa lagi untuk hal besar.

Oleh karenanya, biasakan berpikir sehat dan mau belajar agar pikirannya tak mampet. Sebab efeknya nanti depresi, gejala awalnya stres. Hem, setuju? (***)

Pandeglang, 24 Januari 2024 18.05

Posting Komentar

0 Komentar