Setelah 40 Hari Bapak Wafat

Bapak, Emak dan adik.

Mati itu pasti. Tidak kenal usia, waktu dan tempat. Ya, di mana kita berada sejatinya tengah diintai oleh malaikat pencabut nyawa. Menurut riwayat 7 kali sehari malaikat mensurvei korbannya. Survei semakin intens menjelang 40 hari menjelang waktu.

Artinya, tak ada istilah azal itu tiba-tiba. Tidak pula lambat. Azal adalah batas di mana kita tak punya lagi kompensasi umur. Itulah kenapa pas bapak terbujur kaku, di saat aku belum menerima, di saat tak yakin. Sebaris kalimat Mang Iip yang masih nyata teringat,

"Pan Mahyu tahu, keterangan saat azal datang tidak bisa dipercepat maupun diperlambat. Ya sudah, terima takdir dari-Nya," begitu katanya beberapa menit setelah bapak tak upaya untuk bernafas.

40 hari terasa cepat sekali. Rasanya baru kemarin bapak bercanda atau sesekali berdiskusi tentang banyak hal. Menjelang wafat minat bapak membaca buku, mengkaji kalam Ilahi, hadir di pengajian relatif meningkat.

Sepulang salat jamaah isya bapak sering terakhir yang pulang, bapak entah membaca wirid apa. Kadang sampai membungkuk, mungkin menghayati tiap bacaan yang sering di bacanya. Minat bapak pada wirid memang lumayan, tak aneh bapak hafal doa-doa panjang dan penggunaanya untuk apa.

Tanda-tanda menjelang wafat memang ada, banyak malah. Cuma itu, aku dan keluarga mana mau berpikir begitu. Siapa coba yang mau kehilangan orang tersayang sangat mendadak? Itu lah kenapa saat memandikan jenazah bapak air mata tak kunjung surut apalagi saat memasukan ke liang lahat. Rasanya sebagian tercerabut di sana. Air mata mengalir, tubuh lemas dan tak mampu mengumandangkan azan.

Dulu aku sempat aneh ya, saat tetangga ku wafat lantas saat anaknya mau mengazani menangis histeris. Aku yang melihat di atas kuburan berseloroh di hati, "Ih, laki-laki kok nangis. Lebay!" Pengen tersenyum tapi takut berdosa. Hari ini aku tahu arti tangisan itu. Betapa hati tersayat-sayat, pedih tiada terkira.

Ini pula yang mungkin dirasakan Sayyidina Umar, kenapa sempat tidak percaya akan wafatnya Baginda Nabi. Setiap ada yang memberitahu bahwa Nabi wafat beliau berteriak lantang,
 
"Nabi tidak wafat tapi beliau seperti Musa di gunung Sinai 40 hari bertapa lantas kembali pada umat-nya lagi," begitu ujarnya. Pedang terhunus dengan tatapan tajam nan terluka!

Siapa yang berani menantang Umar al-Faruq? Jangankan manusia, setan saja kalau ketemu satu gang dengan Umar maka lari terbirit-birit ketakuatan mencari gang lain. Itu bukan kata saya tapi kata al-Mustofa Muhammad saw. Yang saat hijrah, hampir semua orang takut pada dedengkot Quraisy saat itu.

Umar lain lagi, ia datangi satu per satu dedengkot Qurays lantas lantang berbicara, 

"Besok aku akan hijrah. Siapa saja yang yang ingin anaknya jadi yatim, kehilangan ayah, dan isterinya menjadi janda; silahkan tunggu aku di bukit itu!"

Hampir semua tak berkata-kata. Jangankan bicara, merespon pun ada. Itulah Umar dan masih banyak lagi cerita keberanian, keistimewaannya, dan sumbangsihnya untuk Islam. Silahkan baca kisah menarik di buku tebal penulis asal Mesir, Muhamad Haikal Hasan atau Imam Ibnu Katsir atau Imam Dzahabi nafa'anallahu bihim.

Kembali ke cerita awal. 

Lantas di saat Umar tak menerima dan hampir sahabat tak berani mengusik, maka datanglah mertua sekaligus khalifah ar-rasyid utama, lantas membaca salah satu ayat di surat Al-Imran,  terus berbicara, "Siapa yang menyembang Muhammad maka Muhammad sudah wafat. Tapi, siapa yang menyembah Allah maka Allah tetap abadi serta kekal adanya."

Tubuh Umar lemas, tulang seperti dilolosi satu per satu. Beristigfar tak henti. Terbuka hatinya meski pedih tiada tara. Kehilangan pelipur lara dan pembawa risalah Islam yang paling gigih. Tanpa beban, lelah dan menyerah. Itulah Habibina al-Mustofa Muhammad sallahu alaihi wasalam.

Cinta yang mendalam membuatnya tak percaya, pada akhirnya menerima takdir Ilahi itu. Bukankah risalah sunah sempurna turun dan Islam tengah menyosong masa cerahnya. Di riwayat lain dikatakan nabi berkata pada para sahabat, bahwa ada seorang hamba ditawari harta dunia dan kesenangannya atau kembali di sisinya dengan ridha-Nya.

Lantas hamba itu memilih kembali ke sisinya dengan penuh keridhoan. Dari sekian sahabat yang hadir, hanya Abu Bakar yang menangis. Hanya Abu Bakar yang peka bahwa "hamba" itu adalah Nabi. Itu isyarat tak lama lagi nabi akan kembali ke hariban-Nya.

Di momen 40 harinya bapak, aku sudah memahami, lelaki yang baik ialah mereka yang tahu arti tanggung jawabnya sebagai lelaki. Cara terbaik membalas orang yang tidak baik dengan kita, adalakanya dengan diam atau balas dengan karya.

Hal yang membuat kami bahagia hampir 40 hari ini kami sering bertemu bapak di  mimpi. Anehnya, kok bapak seperti hidup. Ngobrol seperti biasa. Kadang memberi nasihat atau memberi perhatian.

Saat ditanya meninggal, bapak bilang gak meninggal. Bapak hidup kok dan masih di rumah, katanya. Saat ditanya soal meninggal pun bapak menjawab apa adanya. Menjawab soal "apa memendam sakit", katanya engga, justeru hanya dingin terasa merayap menjelang wafat. 

Saat Emak menangis pun bapak tahu, pun merasa saat Emak mencium saat jasad terbujur kaku. Yang sering mimpi tak hanya Emak, aku, adikku pun sama. Yang agak heran, bapak masih mengingatkan Emak kalau melalaikan salat lewat mimpi adik.

Selain itu, proses tahlil pun berjalan lancar dari hari pertama sampai 40 hari. Ya, walaupun menyisakan sedikit tunggakan. Insya Allah cepat terbayar. Toh, itu kewajiban kami anaknya. Tinggal Emak yang tengah proses menerima kenyataan, bagaimana pun kehilangan bapak sama saja separuh jiwanya sunyi dari kasih sayang.

Kami pun jadi tahu, ternyata tidak semua kematian itu menakutkan. Tidak semua kematian membuat cemas. Semua kembali pada amal dan proses kita di dunia. Gusti Allah tahu, mana hambanya yang lurus hatinya dan mana yang terus dibelenggu kepentingan sementara.

Wajar kemudian, setiap kami kesenangan tertawa-tawa, bapak sering bilang, "ulah rosa tein babahagiaan, bisi poho tina dzikir," begitu katanya.

Jadi rindu tiap malam bapak biasanya khusyu membaca wirid di sepertiga malam, kadang sampai subuh, terus salat berjamaah. Setelah subuh tadarus terus masak setelahnya beraktivitas di depan rumah. Jarang sekali seusai subuh bapak tidur lagi, tidak seperti anaknya. 

Ah, semua masih nyata. Semoga bapak bahagia di sana. Doakan kami anakmu agar tidak lupa hak kami pada Ilahi dan memberi cahaya pada dunia. Tidak harus luar biasa, minimal tidak memberi beban pada orang sekitar kami. Lahu, alfatihah! (***)

Pandeglang, 21 Februari 2024  17.58

Posting Komentar

0 Komentar