Konsultasi Perdana Si Abang Ke Puskesmas Bangkonol

 

Pagi kemarin, saya mengantarkan si Abang ke Puskesmas Bangkonol untuk melakukan konsultasi kejiwaan. Selain itu, juga berobat adik juga. Ada banyak kesan yang saya rasakan.

Pertama, agak takjub dengan tekstur bangunannya terlihat baru. Cukup terawat juga sih. Bersih. Mungil pula. Bagi yang baru pertama ke sana, seperti saya harus tanya-tanya. Padahal, Puskesmas itu bukan pertama dibangun loh. Sudah bertahun-tahun, mungkin karena saya belum berkunjung ke sana jadi merasa asing.

Kedua, pengunjungnya yang datang pergi agak sepi. Relatif santai. Pelayanannya bagus kok. Udaranya pun masih alami agak jauh dari sumber polusi jalanan. Apa karena tempatnya di di pelosok desa?

Di sana kami datang ke dokter, entah psikolog, psikiater atau mungkin dokter merangkap semuanya. Padanya aku dan si Abang datang konsultasi dengan kejiwaannya. Si Abang punya riwayat pernah terganggu pikirannya, kurang lebih delapan tahun lalu.

Apa sebabnya? Aku gak tahu. Banyak suara di luar yang terdengar oleh kami, ada yang bilang karena lamunan. Ada pula yang bilang karena amalan, maksudnya mengamalkan wirid tanpa guru. Ada juga kiriman atau guna-guna. Ada juga efek karena banyak anak, katanya ada saja yang (harus) depresi salah satunya.

Terserahlah kata orang apa saja. Yang pasti kami sekeluarga semampunya mengobati. Kurang lebih 4 tahunan. Kalau kata orang, di sana ada yang bisa bantu pengobatan, kami datang ke kiai atau ustaz itu meminta barakah doanya. Terus begitu, pindah dari satu ke yang lain. 

Kalau merasa manjur kami bertahan di sana, kalau tidak, cari yang lain. Capek kah? Banget. Baik waktu, materi dan tenaga terutama pikiran terforsir habis. Di masa itu, jangankan dikasih bantuan diberi nasehat aja Alhamdulillah. Masa itu kami merasa ditinggalkan. Jangankan orang lain, keluarga saja hampir gak ada yang peduli. Buka peka, yang ada mengejek dan menertawakan.

Masya Allah masa itu, ingat gimana tekanan dan kepanikan Emak. Bapak yang lebih banyak diam dan kena omel Emak. Adik-adik yang seret jajan. Pernah suatu ketika, kita makan kacang ijo yang udah penuh jamur gitu,
 dan lain-lain. Minta jatah raskin lebih banyak karena gak ke beli beras. Itu pun dengan tatapan sinis juga bentakan petugas kelurahan. Belum bisik tetangga, dengan kosakata sepedas rawit.

Heuh, pokoknya. Alhamdulillah setelah berjuang kurang lebih 4 tahunan, masa yang tidak mudah itu mulai bergulir. Kami agak lebih tenang karena ada gejala si Abang sembuh meskipun belum total. Setidaknya apa yang kami lakukan tidak sia-sia.

Ada karakter si Abang yang agak beda. Kalau dulu ia pemalu dan pendiam maka sekarang ia lebih berani dan tak terkontrol. Apa yang diinginkan harus diberikan. Kalau tidak? Marah dan memukul apa yang dia mau. Otomatis ia dewasa secara usia tapi kanak-kanak dengan mentalnya.

Ternyata badai belum berlalu. Masalah satu per satu silih berganti datang, tak peduli kami siap atau tidak, semua datang tanpa bisa dibendung. Emak dan Emak yang selalu berada di garda terdepan membimbing kami. Meski tubuhnya rapuh sering sakit-sakitan, tapi prinsip Emak kuat tak tertahankan. Hadapi, jalani meski dengan tangisan yang menyakitkan.

Singkatnya, selama ini belum secara medis diberi pengobatan. Pertama, soal biaya dan kedua, nama baik keluarga dipertaruhkan. Qodarullah, Emak sakit dan harus di infus. Habis 3 botol infusan. Setelah beres, kami curhat ke "dokter" itu terkait kejiwaan si Abang. 

Dan apa jawab "dokter" itu? Katanya ia orang yang mengakomodir pasien sakit jiwa di kecamatan. Pun katanya bisa gratis, asal punya kartu BPJS. Alhamdulillah, si Abang punya. Bawa saja ke Puskesmas Bangkonol hari selasa nanti ada dokternya. Nanti bisa konsultasi. Begitu kata beliau.

Masalahnya satu, orang yang berkepentingan di bawa ini sulit banget diajak. Sulit dirayu. Sulit dinasehati. Dia mah gimana maunya. Walaupun pada akhrinya, mau sih. Itu pun dengan proses juga bujukan tingkat dewa. Alhamdulillah, ya.

Di sana ditanya-tanya. Mulai dari riwayat hidup juga komunikasinya.Alhamdulillah baik, cuma kurang satu: belum bisa mengontrol emosinya. Masa tiga hari sebelumnya dia emosi, lah aku dilempar kucing ke muka. Syukur gak kena. Gak hanya aku sih, adikku juga. Betapa jengkelnya, hampir saja aku jotos itu Abang. tapi gak tega lihat muka Emak dan emosi bisa aku redam.

"Itu obatnya buat 10 hari ya," begitu kata petugas di sana.

"Kasih tahu kalau ada perubahan," lanjutnya. (***)

Pandeglang, 4 April 2024.   04-05.23

Posting Komentar

0 Komentar