Cinta Yang Menjadi Kisah Kita

Ilustrasi dari pixabay. com

 Proses dekat denganmu dengan rentetan cerita suka duka kita jalani memiliki warna sendiri. Menjadi pesona membuat hari-hari berwarna, melekat dengan emosi kita yang stabil. Kadang ngambek, marah, sebal atau justeru di serang kerinduan yang tak tentu. Terus menyerang sampai di mana kita harus sama mengontrol. Cinta yang menjadi badai penuh amuk.


Apa yang terlihat seolah membuatku ingat kamu. Apalagi itu yang jelas tentangmu maka di saat yang sama aku terdiam, kenapa semua tentangmu. Saat mata ini tak sengaja melihat pesona yang lain, yang sering buatmu cemburu setengah mati; tahukah kamu, bukan pesona itu yang membuatku terpesona justeru melihatnya aku ingat dan ingat kamu. Kamu dan kamu.

Saat kamu terus menasehati jaga pandangan dan takut sekali jiwa lemah ini tergoda ke sana, justeru aku heran, betapa rasa cinta tertuju padamu. Kamu takut tapi aku butuh penguatan agar rindu ini tak berkeping diabaikan. Terlalu banyak wanita cantik, tapi cinta tak selalu soal cantik, bukan?

Tiap hari aku ketemu yang cantik. Bahkan, sebelum kita kenal. Apalagi satu tahun ini betapa kita tenggelam di samudera kerinduan tak berakhir. Lantas, apa itu menggoyahkan pesonamu? Kamu pasti tahu, jawabannya. 

Mungkin itulah kenapa, kita punya satu hati. Tiap kita punya satu. Untuk apa? Untuk kita serukan dan persembahkan pada satu hati saja, yang mau berjuang dan memperjuangkan satu sama lain. Mau saling memperbaiki. Mau menomorduakan egoistis dan mengedepankan kepentingan bersama.

Kita pasti punya kekurangan pun punya banyak kelebihan. Betapa banyak pasangan yang tadinya mesra berujung pada kebencian. Mesra itu hanya kedok dari egoisme diri, ingin yang sempurna tapi tak mau menyempurnakan. Melihat kelebihannya tapi tak mau menerima kekurangannya.

Orang bilang, banyak orang sebelum menikah hanya melihat kelebihannya tapi saat akad terujar saling terluka lagi kecewa. Aku pikir, itu soal kejujuran saja. Jujur pada apa yang sama-sama kita inginkan: apa maumu dan apa mauku. Di fase ini, bukan demi aku tapi demi kita yang diperjuangkan.

Kita jangan ya, jalani takdir kita. Dengan tidak mencaci bagaimana nanti takdir meramunya. Entah ke mana arahnya. Seperti apa buahnya. Fokus kita adalah bagaimana cinta ini membuat kita terjaga dan kuat. Seperti apa pun akhirnya, kita bersyukur pernah menyuburkan dengan ketulusan dan keceriaan bukan kepura-puraan.

Kamu tahu cinta, entah kenapa aku ingat Baginda Nabi yang di akhir hayatnya terujar, "ummati, ummati ummati. Annisa, annisa, annisa. Assolat, assolat, assolat." Tiga hal itu yang membuat kita ummatnya begitu bersyukur punya teladan dan Rasul yang sempurna. Tiap saat dianjurkan bersalawat. Kita mungkin heran, ya bisa aja.

Dipikir-pikir ya, ini versi logika ku. Itulah kekuatan cinta di jiwa Baginda Nabi yang amat luar biasa. Tak henti oleh rasa sakit. Meski pun Izrail dan Jibril menawarkan dan mengabarkan kenikmatan yang bakal beliau saat ruh lepas di jiwa sucinya. Fokus beliau tetap saja ke kita, hamba-hamba yang kerap kali merasa selalu benar.

"Kalau begini rasa sakitnya dicabut nyawa, hai Izrail. Maka kumpulkan saja rasa sakit dicabut nyawa hanya padaku, jangan pada hambaku." Ujar beliau dengan penuh kesungguhan hati.

Itulah cinta, saat kita hanya memberi ketulusan bukan hanya menunggu diberikan. Banyak sekali riwayat seperti apa terujinya kecintaan beliau pada umatnya, sampai di Thaif malaikat penjaga gunung ingin meluluhlantakkan pendudulnya gara-gara menolak risalah Nabi. Tak cukup itu, penolakan disertai lembaran batu juga cacian. 

"Mereka tidak tahu. Biarkanlah, kalau sekarang penduduk Thaif tak mau menerima risalah yang aku bawa, semoga nanti anak-cucu keturannya beriman ke Gusti Allah."

Jawaban yang membuat malaikat itu terdiam. Sejarah mencatat, ini awal kesuksesan dakwah Nabi. Di bangun cinta tulus, tak peduli resikonya membuat beliau di tereksekusi dengan amat kasar. 

Terus bagaimana dengan kita?

Kita sedang menanam dan terus kita rawat. Kita suburkan kasihnya agar cinta itu menjadi pelita di saat nanti. Walau kita tak tahu seperti apa nanti takdir mencatatnya: manis atau mungkin pahit. (***)

Pandeglang, 2 April 2024  01.12

Posting Komentar

0 Komentar