Perginya Ramadan, Datanglah Lebaran

Tahun kemarin di Pasar Rau, menemani almarhum bapak. (*)

Takbir yang terus menggema di corong speaker masjid menjadi tanda, ramadan harus pergi. Pergi melipat dan dilipat waktu. Kebersaman selama kurang lebih 30 hari, harus terpisah. Tak peduli siapa dan siapnya, hari raya menanti esok pagi.

Di hari penuh fitri ini, ada yang bersuka cita menyambutnya karena ada banyak waktu liburan. Ada banyak kebersamaan tercipta. Ada momen mengecup kemenangan setelah berjuang tertatih-tatih menahan lapar dan ego. Imsak dari fajar yang benar sampai pada terbenam si manis di ufuk barat. Temaram senja menjadi lukisan tersendiri bagi hamba yang senantiasa peka akan rahasianya langit.

Berbondong-bondong mereka yang merantau jauh dari sanak keluarganya menimbuh rupiah demi rupiah demi terlaksana silaturahmi yang terpisah jarak. Niatnya tulus, tersambuh tali kasih yang melekat. Meski macet tak terkira, meski lelah tak tercerita, semua demi kepentingan kasih jua.

Hari raya memang selalu suka cita, terutama bagi kita yang memamerkan baju baru yang buat kita percaya diri. Harum alami yang nyaman tercium hidung. Uang persenan dari mereka yang punya keluasan hati nan jiwa. Bisa jajan sebebas-bebasnya, karena uang ada dan puasa sudah selesai.

Hal yang luput kita perhatikan jutsru ada dari sedikit orang, perginya ramadan adalah perginya petualangan seru 30 hari ini. Dari yang belum terbisa bangun malam, maka ramadan memudahakn dengan adanya sahur. Subuh yang sering terlewatkan, entah kenapa di ramadan jadi terasa ringan meskipun sisanya habis terkapar di kasur, terbuai mimpi yang tak terikat aturan pasti.

Hari raya pemisah antara ribuan berkah yang bisa dikecup mudah, siang dan malam. Apalagi ada malam yang sebanding dengan seribu bulan. Satu malam setara dengan 80 tahun lebih. Bayangkan saja! Pantaslah, kalau malamnya misterius dan gak setiap hamba mampu mendeteksinya. Jangankan kita, mereka yang suka bersurban saja belum tentu mampu menjangkaunya.

Akan tetapi, ramadan adalah dinamika pasti. Lebaran pula garis waktu yang terikat masa. Semua pasti berputar. Ada yang harus pergi, ada pula yang datang. Jangan sesali yang seharusnya pergi dan jangan antipati dengan apa yang baru datang, tamu yang dinanti-nantikan.

Semoga dengan perginya ramadan membuat kita lebih menghargai waktu. Membuat kita lebih tertarik mendelegasikan wewenang yang Allah berikan, bukan di jalan penuh curam dan noda. Bukan pula di lapangan penuh angkara murka. Semoga berlalunya bulan, awal senyum manis di takdir kita, hamba-hamba yang bukan lalai. (***)

Pandeglang, 10 April 2024|Lebaran idul Fitri. 00.51 cf

Posting Komentar

0 Komentar