130 Hari Bapak Pergi

Momen di mana bapak tengah bersama kami. (Sumber Pribadi)

Beberapa hari lagi iddah Emak berakhir, itu tanda lebih dari 100 bapak sudah tak bersama kami lagi. 130 hari sudah Emak di rumah, murni tak ke mana-mana menjalankan kewajiban agama-- wujud isteri yang baik, tak lama lagi terlepas dari simpul yang selama ini mengekangnya. Tidak mudah, 130 hari hanya di rumah, di rumah terus, tak ada TV, tak saudara yang peduli menghiburnya dan tak ada seabreg kesibuan di luar rumah. Ya, tak mudah.

Alhamdulillah, atas izin-Nya Emak membuktikan mampu menghadapinya. Dengan resiko, ujian dan warna yang penuh haru nan cerita. Apalagi saat pertama bapak menghembuskan nafas terakhir, rasanya dunia terasa runtuh di waktu itu. Semua yang dekat dan kenal Emak pasti tahu, betapa Emak amat lekat sama bapak. Sebaliknya bapak pun begitu, apalagi bulan-bulan menjelang wafat, bapak tuh bak orang baru pacaran begitu. Lengket benar!

Itulah takdir. Itu lah kematian. Tak bisa kita duga, sangka dan abaikan begitu saja. Ia menyapa seumpama rayap, tak kenal waktu, hari dan tempat. Itu yang kami saksikan pada bapak, yang tak terlihat dan sinyal nyata ada tanda bapak pupus begitu dekat. Dan, terjadilah apa yang harus terjadi.

Memang aku sempat merasa bertanya-tanya tepatnya dulu, "bagaimana kalau bapak wafat? Bagaimana kami menjalani hari tanpanya? Sedangkan apa-apa harus bapak dan bapak, tak yakin bisa survive tanpa kehadiran beliau." Begitulah di antara ketakutan-ketakutan yang sempat menyeruak di kepalaku. Dan kini, waktu menjawabnya. Beliau pergi dengan senyum dan tanpa wasiat sharih apa-apa. Ada bungahnya wafat tanpa proses yang rumit, di saat yang sama sesak begitu terasa, pergi tanpa kalimat akhir terujar.

"Jaga Emak, jaga Emak," begitu pesan terulang yang disampaikan di mimpi ke kami. Apa arti pastinya? Wallahu'alam.

Meski pun sudah pergi, bapak acapkali menyapa kami di mimpi, kadang menasehati, marah, bercanda atau menyampaikan perhatian. Perginya bapak terasa seperti sebuah mimpi, antara harus diyakini dan diterima. Padahal artinya nyata. Aku, Emak dan keluaraga bukan orang pertama yang mengalami ditinggal seseorang yang disayangi. Ada jutaan orang yang mengalami, dan semua baik-baik saja.

Begitulah hidup. Ada saat kita bisa rehat sejenak untuk memikirkan dan merenungkan apa yang terjadi, ada saat di mana laju hidup harus dilanjutkan. Perjalanan tak boleh sampai di sini, yang pergi sudah punya takdirnya sendiri dan kita punya takdir sendiri pula.

Bersedih dan sabar bukan berarti diam. Cinta bukan berarti harus terpuruk. Ketika kita ridho dengan perginya orang yang kita sayangi bukan berarti kita melupakan. Kita hanya merelakan apa yang sudah tertanam di dasar hati untuk di simpan di ruang hati yang lain. Biarkan di sana bersemayam untuk jadi energi dan menggores kisah menuju kisah lainnya.

Prosfek kami anaknya jelas, melangkah menapaki garis kehidupan. Rencana untuk membuat buku Memoriam 100 Harinya Bapak Pergi sepertinya dipastikan belum terelisasi. Kesibukan demi kesibukan juga tak menemukan warna pastinya.

Kendati begitu, mimpi itu masih ada dan rencana itu tidak padam. Pasti ada saatnya, walau gak sekarang tapi nanti. Kami percaya, bapak baik dan insya allah meninggal baik dan bernasib baik di sana. Meski mata dzohir tak mampu menyapanya, tapi batin kami terikat ke sana.

Pada jadinya, sejujurnya ini renungan untuk kami agar lebih terjaga soal kematian. Betapa banyak dari kita merasa kasihan pada mereka yang sudah wafat seolah nasibnya tak baik, tapi kita lupa, nasib kita tidak ada jaminan baik pula. Baik akhir usia terlebih nanti di alam abadi tanpa ada jeda lagi.

Kalau kami tengah asyik bercanda atau menyanyi misalnya, bapak selalu berujar, "ulah sok babaagiaan, bisa kaceplosan." Sekarang aku baru ngeh, maksudnya itu jangan terlalu banyak hura-hara dan senang-senang sampai berlebihan. Takutnya, tiba-tiba pemutus kenikmatan dunia menyapa kita. Saat itu, kita bisa apa-apa.

Aku jadi saksi, kalimah Allah dan tauhid yang terus bapak ucapkan sampai di mana nafas bapakt tidak terdengar. Sunyi. Diam. Tangis dan luka yang kami rasa, ujungnya kami berujar, "kami miliki Allah dan kepada-Nya lah kami kembali." Wallahu'alam. []

Pandeglang, 19 Mei 2024   00.55




Posting Komentar

0 Komentar