Ucok dan Cemberutnya Wanita

ilustrasi dari pixabay.com


"Wanita mah, ya, memang begitu. Selalu ingin menang, sendiri lagi," Ucok bercerita di tengah kesibukan membereskan belanjaan. Dia malas meluruskan apalagi berdebat dengan wanita di rumahnya, kalau ujungnya menangis atau dia harus merasa disalahkan.

"Walau bagaimana, dia isteri saya, ibu dari anak saya. Saya menerima dan memahaminya, seperti apa pun keadaannya," pungkasnya. Lantas pamit mengantarkan belanjaan. Langkah yang ringan tapi cepat.

Sehari-hari ia bekerja di Pasar, mengangkut belanjaan. Belanjaan saya pun kadang ia bawakan, nanti kita kasih uang gitu. Terserah kita sih, mau berapa saja. Tak ada taksiran. Di antara kelebihan Ucok ini, berapa pun dikasih sekalipun belanjaan bejibun ia tak komentar. 

"Sudah segitu, kali Kang rejekinya," begitu ujarnya.

Karena sering kita ketemu, di beberapa kesempatan, ya kadang mengobrol. Entah kenapa tadi dia cerita tentang wanita di rumahnya, isterinya. Mungkin ya, ini kecurigaanku, ia melihat aku yang cemberut melihat layar hape. Cemberut yang lagi-lagi, berkonflik. Dengan siapa, dengan kekasih hati. Gara-gara urusan sepele.

"Di bawa enjoy aja, Kang," katanya sambil menyeruput segelas kopi hitam dan menghembuskan rokok kretek. Selanjutnya seperti di atas itu, kurang lebih obrolannya.

Dari obrolannya itu, aku menangkap benang merah, soal ngambek wanita mungkin jagonya. Sebagai bukti, dari orang yang sempat saya dengar, dalam sepasang kekasih, wanitanya adalah sering ngambek. Tak hanya Ucok, dari yang lain pun sama. Artinya apa, ngambek ini soal biasa. Terpenting bagaimana mengelola atau menghadapinya.

Dalam hal ini, aku setuju dengan Ucok dengan tidak mengomentari atau sesekal diam barangkali itu pilihan aman. Di sini, perlu kiranya kita sebagai laki-laki menggunakan perspektif kita sebagai laki-laki dan meraba pikiran serta pasangan kita. Dengan cara merenungkan, "loh kok, ia sering ngambek aja, ada apa ya." "Mungkin aku salah, atau ada sikap aku yang tak iya pahami." "Mungkin mood iya sedang tak baik, sehingga niat baik tak terlihat baik."

Pikiran ini seperti yang aku lihat di podcast Deddy Corbuzier yang berbincang dengan dokter Boyke, spesialisasi seksual terkenal itu. Memang tak ada sangkut-pautnya dengan obrolan di atas, tapi ada hal yang bagiku menarik untuk di bicarakan.

Om Ded bertanya, ada kasus ayah memperkosa balita. Ada juga kasus seorang cucu memperkosa neneknya sampai meninggal. Om Ded bertanya, kok bisa dok? Dokter bilang, bisa saja, kenapa tidak. Bahkan ada kasus, lanjut dokter, tujuh pemuda memperkosa bergiliran kambing yang sedang hamil. Nyawa induk itu pun tak tertolong, pupus melepas kesuciannya. Astagfirullah!

Bahkan ada kasus seorang jagal ayam di Jawa Barat menyetubuhi ayamnya yang lebih dari 100 sebelum dijagalnya. Ada pula yang melakukan setubuh dengan mayat, angsa dan bebek atau itik. Hih!

Kita mungkin bertanya, kenapa. Jawabnya sederhana, karena otak pelaku tidak normal. Masalahnya itu. Kita mungkin melihat bahkan membayangkannya saja merasa jijik. Wajar, karena kita normal. Itulah soal fantasi. Dalam kasus ini fantasi seksual.

Kita berpikir, kok bisa. Ya tentu bisa, karena itu versi mereka. Di sinilah letak perspektif, mana versi mereka dan mana versi kita. Kalau ingin tahu sebabnya apa, mau tidak mau kita harus menggunakan persepektif mereka. Mereka yang tak normal itu.

Untuk apa. Untuk mencari permasalahannya di mana dan kenapa. Semua ada latar belakangnya. Bagi para ahli, menyelesaikan masalah tidak cukup menghujatnya tapi harus ada upaya selangkah lebih depan untuk memperbaikinya. Sekecil apapun kesempatannya.

Dalam konteks ini, ngambeknya pasangan kita ada sebabnya. Seharusnya fokus kita bukan pada "ngambek" tapi sebab ia kenapa ngambek lebih besar. Hidup terus berlanjut dan itu tak peduli, kita masih siap atau belum dengan persiapan diri kita. Di titik ini, satu hal yang harus kita lakukan, belajar tak kenal waktu dan usia. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 8 Mei 2024   13.43

Posting Komentar

0 Komentar