Pengajian minggu ke dua, di kampung kami berjalan lancar. Bertempat di Masjid Jami' Al-Ikhlas, kampung Tegal, desa setrajaya, Pandeglang (21/11/24). Kajian kitab dibaca langsung oleh guru kami dari Kampung Sawah, al-ustaz Jamaludin.
Acara sendiri terdiri dari tahlil jami' yang dipimpin oleh Ustaz Hifni-- kami biasa memanggil Mang Iif-- dan pembacaan sifat dua puluh oleh sepuh kami, Abah Emi.
Ada pun beberapa poin yang sempat saya catat di pengajian tadi (1) sifat dua puluh itu hukumnya wajib diketahui oleh mukallaf yakni orang yang balig dan berakal.
Dua puluh itu di antaranya sifat wujud artinya wajib adanya Allah. Mustahil Allah tidak ada. Dalilnya, tidak mungkin ada sesuatu pasti ada yang mengadakan. Siapa yang mengadakan, itulah yang Maha Kuasa.
Sebagaimana Allah firmankan di ayat suci, Allah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya. Ayat ini sebagai penjelas bahwa tidak mungkin ada alam semesta tanpa ada yang menciptakan serta mengaturnya.
Tidak mungkin alam semesta ada dengan sendirinya seperti yang diujarkan beberapa kaum Filosof, hal ini bertentangan dengan teori kasualitas-- kata Ustaz Nurudin, bahwa segala sesuatu ada sebabnya. Selalu begitu. Logika kita akan menolak kalau mengatakan semesta tanpa ada yang mengadakan.
Itulah kenapa Imanuel Kant mengatakan mempercayai keberadaan Tuhan adalah hukum postulat. Artinya pasti, tanpa bisa meragukan lagi. (2) Qidam artinya dahulu mustahil Allah punya sifat huduts atau baru. Bagimana mungkin Allah baru sedangkan ada sesuatu karen adanya Allah.
Sebagai contoh sederhana, tidak mungkin ada bakso tanpa ada yang membuatnya. Logika secara mudah memahami, lebih dulu ada si tukang bakso daripada bakso. Kita tentu saja heran, gak mungkin ujug-ujug ada bakso tanpa ada yang membuatnya. Ini falacy sekali.
Landasan dalil Allah terangkan dalam ayat yang berbunyi Allah yang Maha Awal dan Allah Maha Akhir. Awalnya Allah tanpa ada yang mengawali dan akhirnya pun tak ada yang mengakhiri. (3) Baqa artinya kekal, tak mungkin fana atau rusak. Musthil kita percaya bahwa Allah hanya hancur.
Di sejarah kita bisa tahu Nietze atau kalangan komunis yang bernaung di PKI dulu, sering mengejek bahwa gustine Allah sudah mati. Mereka sesumbar, adanya Allah tidak logis sebab di masyarakat (waktu itu) banyak orang miskin, teinjak, tak jelas nasibnya pula.
Tapi hari ini, siapa yang bisa menyanggah bahwa Allah yang tetap ada meskipun penghinanya sudah tak ada. Hanya jadi cerita usang meski pun omongannya selalu dikutif para intelektual yang ada.
Sedangkan Ustaz Jamal membahas dua kitab-- entah apa. Poin yang saya catat, mayoritas kita meyakini kita akan mati. Mati tidak sekedar mati, akan ada pertanggungjawaban seusai mati.
Itulah kenapa muslim wajib meyakini adanya adabul kobri dan azabul qobri. Artinya kenikmatan kubur dan azab kubur itu hal yang ada. Yang menentuka baik-tidaknya itu amal kita di dunia. Jangan dikira di kubur itu mati, ya secara fisik mungkin ya, tapi dengan non fisik.
Siapa pula yang membaca Laa ilahaa illa llah dengan benar dan ikhlas maka Allah lebur dosanya yang kabair, siapa yang membaca laa Ilaha Illa Allah diberi 100 kenikmatan.
Gosob yakni ambil barang tanpa izin tapi kembali dikembalikan lagi berbeda dengan mencuri yang gak ada niat untuk mengembalikan lagi. (***)
0 Komentar
Menyapa Penulis