Kisah Cinta di Tanggal 7 Januari 2025

 

sumber gambar: Pixabay.

Ketika aku menulis ini, tertanggal tujuh januari dua ribu dua puluh lima. Tanggal yang mana beberapa hari lagi--setahun lalu-- bapak pupus. Ya bapakku, seseorang yang menjadi wasilah aku ada di bumi ini. Meski pun beliau bukan cinta pertamaku, tapi beliau yang menjadikan aku paham arti perjuang sebuah cinta. 

Ketika aku menulis ini, sebenarnya aku sedang berpikir, bagaimana cinta yang kita perjuangkan menjadi semangat diri kita. Kamu punya cinta dan aku pun begitu maka perjuangkan. Syaratnya, cinta itu bukan di ladang orang. Cinta itu memang berada tepat di jalur yang selayaknya kamu perjuangkan.

Tadi adikku cerita tentang kisah cinta dengan seseorang. Seseorang itu yunior-nya. Seseorang yang aku kenal dan pernah ketemu. Meski pun tak terlalu akrab, setahunya saja. Ia cerita ini tengah memendam rasa meski ia tak tahu rasanya. Setengah hatinya percaya, ia pun punya. Terus apa masalahnya? Ia agak kagok untuk menampilkan rasanya secara nyata/

"Terus, bagaimana, kak?" tanyanya meminta saranku.

Kalau bertanya sebagai lelaki normal dan punya jiwa ksatria, aku jawab, ya perjuangkan. Cinta adalah perjuangan. Urusan dapat atau tidak, urusan nanti. Hal ini mengingatkanku pada kisah cinta Emak dulu. Emak itu ibuku. Bersama bapak, ialah ayahku. 

Ceritanya Emak itu bunga desa di masa itu. Masa di mana tahun 80-an. Lampu listrik belum menjamah kampung kami. Masa itu, tanah kami masih perawan karena masih akrab dengan pupuk lokal. Orangnya pun masih banyak yang polos. Bukan polos karena tak memakai busana tapi polos karena berpikir sederhana, kita akan mati dan cukup memikirkan itu.

Cinta bapak bersemi di Pasar. Bapak ikut berdagang dengan kakak iparnya. Emak ikut bekerja sebagai tukang nasi di dekat toko bapak kerja. Nah, di masa itu pula bapak memperjuangkan cintanya bersaing dengan puluhan pemuda lain, mereka yang katanya lebih ganteng, lebih tajir, lebih berani dan lebih-lebih lainnya.

Terus kenapa bisa bapak yang menang? Pertama, karena takdir sudah menjodohkan keduanya. Karena kalau bukan karena takdir tak mungkin ada aku yang menulis ini. Karena bagaimana pun aku adalah anak keduanya. Keduanya, bapak mau berjuang dan siap ambil resiko. Harus kita akui, menundukkan ego diri dan melumpuhkan hati perempuan itu tak seperti makan bakso campur sambal lima sendok langsung hah, tidak!

Memperjuangkan cinta adalah membuat sejarah cinta kita. Untuk apa? Untuk jadi lembaran kisah di ragam kisah cinta yang ada. Mungkin tak se-ikonik kisah Romeo-Juliet atau tak stragis kisah cinta Laila-QoisMajnun, sedikitnya istimewa di sejarah hidup kita. 

Bapak mah bobogohana te bangor. Padahal emak balik ti pasar dua na bae, naik angkot terus kudu lempang dei ka lembur. Poek, mana aya anjing dei. Heh, pokokna. Coba mung lalaki lain dua-duana kitu, kesempatan eta. Bapak mah henteu. Te bangor. Pas hiji mangsa di ajak raramena geh, mung ulin ka imah geh jaga jarak. Palagai di taun eta imah masih amben, mungkin aya nu nganjang sarare di harep imah.

Begitulah, meski pun kisah cinta keduanya bukan hal yang amat fenomena tapi bagiku kadang lucu. Mendalami kisah orang tuaku membuat aku memahami, terkadang perempuan itu bukan butuh pengakuan tapi perjuangan yang nyata, kamu ingin dia dan mau memastikan perasaan cinta itu.

Perasaan tak diperjuangkan itu seperti makan bakso kurang garam, tawar. Kalau kita butuh pengakuan maka perlu ada langkah. Omong kosong cinta cukup dipendam. Kalau dipendam bagaimana kalau didahului orang, pas giliran terjadi nangis sendiri. Kan lucu orang patah hati itu, menangisi ketidakmampuan diri di saat yang sama terus dibayangin bayang-bayang.

Oleh karena itu, karena ini bukan surat resmi bukan pula pengakuan, hanya tulisan dengan aktualisasi diri saja, pesannya jelas: Buanglah mantan sama kekasihnya! (***)

Pandeglang, 07 Januari 2025    22.31

Posting Komentar

0 Komentar