In Memoriam Bapak di Sepuluh Januari

 

Ilustrasi gambar keluarga/pixabay.com

Sebenarnya di malam kemarin, tepat sepuluh januari dini hari aku ingin menulis tentang bapak. Di kepalaku sudah berputar-putar ide menulis seputar beliau dengan judul ‘detik-detik menjelang bapak wafat’. Sengaja benar aku menulis itu untuk menggali momen bersama beliau.

Namun tak jadi, sebabnya (1) kekasihku bangun, dan aku langsung diingatkan agar tidur, ga boleh bergadang disertai ancaman (2) Emak juga bangun terus mendatangiku dan bilang ‘oh, belum tidur’ terus lihat jam dan kembali tidur. Memang sudah malam sih sekitar pukul satu malam lebih.

Terpaksa aku jeda dan matikan komputer yang mendesing sedari sore. Masuk kakus, sikat gigi, buang air, main air terus sembahyang dan wirid karena kemarin malam jum’at.

Dini hari itu aku belum tidur, tiba-tiba aku kangen bapak, meski sudah doa dan ‘untaian hadiah’ disampaikan untuknya, tetap saja ada sisi hatiku yang memang butuh peluk beliau. Ditambah emak kerap kali cerita sering bertemu bapak di mimpi dan aku justeru bertanya ke diriku, kenapa aku jarang, ya?

Satu tahun sudah bapak pergi, tepat 10 januari 2024 pukul 02.30 WIB. Di depan aku, adikku dan Emak. Malam itu aku terjaga terlebih selepas bapak pergi, antara percaya dan tidak begitu cepat kematian memisahkan kami. Berjibaku dua jam selebihnya bapak menghembuskan nafas, hanya batuk sekali lantas diam. Diam… melihatnya seperti mimpi!

Emak cerita, ketika tahun baru itu aku memang sedang ikut acara ‘Detik Akhir dan Detik Awal’ di Rumah Dunia (disingkat RD) Serang, rumah terasa sepi. Di rumah kayak kurang apa gitu. Sebenarnya, aku agak keberatan juga hadir ke RD.

Tapi waktu itu berpikir, biarin lah aku ke Serang sekali-kali Emak jauh sama aku, biar terbiasa. Sebab aku gak tahu, bagaimana nanti karir-ku, mungkin saja aku punya profesi yang mengharuskan aku untuk tidak lagi di rumah.

Lagian aku gak enak, di acara awal tahun itu diberi tugas untuk memimpin doa sama kawan-kawan. Tak mungkin aku beralasan lagi sibuk terus, harus ada waktu menyempatkan ke sana. Meski aku tahu tatapan berat Emak tapi tak kuhiraukan.

Siapa nyana itu detik-detik beberapa hari lagi pupus. Memang ada banyak keganjilan yang kami rasakan dengan bapak. Dari wajahnya yang pucat, tiap pagi bapak tak pernah tidur lagi menjelang wafat sering tidur pagi, beraktivitas pun sering bermalas-malasan.

Di antara yang sangat kontras ialah bapak selalu terlihat ceria, sering bercanda dan diam-diam intes membaca buku peristiwa seputar mati yang aku pinjam di perpsutakaan RD. Sebelum wafat, dari pagi sampai siang berbincang-bincang dengan kami menceritakan lelucon dari desanya. Kerap kali membuat kami terpingkal.

 Dan aku tertidur.

Di dalam tidur itu aku bertemu bapak. Tidak mengobrol sih hanya aku melihat bapak yang sehat. Tak ada momen spesial, intinya begitu. Kadang aku suka aneh sih, kalau sama yang lain bapak suka ngobrol entah sama aku kok terkesan jaga image begitu. 

Sehat-sehat di sana pak, moga cerah kuburnya. Luas tempatnya dan di temani sahabat yang harum di sana. Bapa pergi pun kami pun bakal pula menjemput, doakan kami pun tetap terjaga agar saat nanti kembali, kalimat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah.

Karena dengan kalimat itu kita hidup dan kita mati dan nanti pun dibangkitkan. Dan siapa yang akhir kalam-nya kalimat itu maka dakholah jannah. Semoga, pak ya. (**)

Pandeglang, 11 Januari 2025   20.59

Posting Komentar

0 Komentar