![]() |
Ilustrasi Membaca dalam diam/pixabay.com |
Hidup ini kadang lucu meski kadang kita tidak ingin tertawa dengan kelucuan itu. Misalnya, saat dua orang yang saling mencintai memutuskan untuk mengakhiri hubungan. Bukan karena tidak cinta lagi. Bukan tak sayang lagi.
Bukan karena ada orang ke tiga yang merontokkan kehangatan itu. Justeru karena restu tak jua dihadapi. Tak jua didapatkan walau pun keduanya berharap dan menanti dari detik ke detik.
Demikianlah betapa sakralnya kata restu ini.
Lucunya, kalau tahu ujungnya terpisah kenapa harus mati-matian menjaga. Kalau tahu akhirnya akan begini, kenapa harus ada kata setia dan ingin bersama. Bukankah itu utopia saja.
Lucunya, keduanya masih merasa bersama walau pun tak pernah ada kata sapa. Masih terasa bersama meski dari getaran yang entah kenapa masih begitu lekat. Senyum itu masih terasa hangat. Rayuan itu masih pula mendebarkan jiwa.
Lucu sudah, apa artinya kata pisah itu?
Andai kita tahu takdir kita, seperti apa skenario-nya. Minimal mengintip-nya, mungkin ada banyak keadaan yang buat kita tersenyum, tertawa dan bahkan terbahak-bahak. Tak jauh seperti kita menonton sebuah film.
Bukankah kita sering kali yang paling histeris mengomentarinya. Kita marahi pemain utama yang begitu lemah. Kita begitu benci sama pemeran antagonis. Padahal kita tahu semua hanya sedang bersandiwara menjalani cerita sesuai skenario-nya. Pahit-manis hanya cerita, tak lebih.
Lalu apa artinya semua?
Terkadang memang ada kata "pisah" tapi bukan untuk berakhir. Tapi membuat kita berpikir dan merenung. Betapa selama ini kita lupa menikmati kebersamaan, maka sekarang diuji untuk menikmati kesendirian.
Bukan untuk kita caci tapi untuk kita jalani. Menikmati detik demi menit. Berat yang terasa. Sesak yang mendera. Perih yang menerka. Semua menyatu dalam bingkai hari.
Saat itu, kita ingin menyalahkan. Tapi, siapa yang hendak kita salahkan?!
Sebab, kita tak tahu, bersama atau tidak, ujungnya akan ke mana. Mungkin benar kata Pidie Baiq, pacaran (baca: hubungan) itu memang akan berakhir. Berakhir ke pernikahan atau ke perpisahan.
Terus, bagaimana kisah dua sejoli di atas?
Entahlah, mungkin sebagai penulisnya aku hanya menertawakannya. Sebab terkesan bodoh. Betapa tidak, mereka ingin menjauh tapi sejatinya dekat. Mereka ingin pergi tapi namanya terus terpatri. Tapi mereka sengaja membuat tabir.
Mungkinlah begitu kisah cinta, tak melulu romantis. Tidak melulu dramatis. Tak melulu pahit. Tak melulu ceria. Tak pula tragis. Semua ada masanya untuk terulang atau justeru menyatu. Karena kita tahu, semu tak lepas dari takdir yang sudah Allah goreskan pada tiap insan di bumi.
Terus, bagaimana dengan kisah cinta kamu?
Ini mengingatkan aku pada obrolan dengan teman wanita di sebuah agen, kami mengobrol disaksikan sama ibu agen itu. Namanya teman lama ketemu ya, akhirnya kami nostalgia masa-masa sekolah. Ia yang kini sudah jadi ibu dan dua anak.
Kami sering ketemu teman-teman, ada yang ketemu saling sapa, ada pula yang pura-pura tak kenal. Ada yang sok sibuk. Banyak pula yang seperti dulu, meski keadaan lain mereka tetap ramah dan seru. Sohib yang tak kenal masa.
Temanku sempat nyerempet ke kisah pribadiku dan ia tanya, tidak untuk mengejek. Bagaimana kalau mantanmu menikah dan kamu diundang? Dia dan ibu agen itu nampak menunggu jawabku.
Dengan senyum yang entah apa artinya aku menjawab, ya datanglah. Serius? Begitu katanya. Ya lah, kataku, gak ada alasan untuk tak datang. Kami memang pernah bersama tapi saat takdir berkata lain kenapa harus disesali?
Bagiku, tujuan bersama untuk saling bahagia. Maka, saat dia menemukan orang tepat dan aku belum mampu, pantaslah aku beri dukungan. Terpenting, dia bahagia. Cinta itu tak harus memiliki, begitu kata orang. Entah orang mana dan siapa, dan aku membenarkannya.
Eh, dua wanita yang terpisah usia itu malah tertawa. Lah, emang salah? Aku pun ikut tertawa. Entah apa artinya. (***)
Pandeglang, 2 Agustus 2025 22.30
0 Komentar
Menyapa Penulis