Perlunya Menyelami Takdir Diri Kita

Takdir adalah jalan renungan kita. (Islamiccenter.Upi.edu.)


Kita tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa, tempatnya di mana dan di bangsa mana. Bahkan, agamanya apa. Itu lah kenapa di tahun belakangan geger istilah "agama warisan". Apa yang kita yakini sekarang sejujurnya bukan yang kita cari tapi apa yang diberikan orang tua kita.

Argumentasi itu tentu saja memantik polemik panjang, bahkan sampai membuat penulisnya agak depresi. Wajar sih, karena yang menulis anak SMA yang belum tahu betapa dunia pemikiran memang sadis. Sesadis pasangan kumpul kebo kemarin di Mojokerto, pasangannya di mutilasi dengan begitu mengeriakan.

Lantas, bagaimana memaknai dan menyikapi keadaan yang kadang tak menyenangkan itu? Atau memang harus terus membandingkan dengan orang lain yang keadaannnya--di mata kita-- lebih baik?

Tiap kita punya takdir dan jalan hidup berbeda. Satu sama lain tak melulu harus sama. Jangankan dalam satu bangsa, dalam satu keluarga saja ada saja perbedaan. Itu lingkup terkecil dalam stratifikasi sosial kita.

Artinya, kita harus belajar berdamai dengan keadaan kita. Belajar bersyukur yang Allah berikan kepada kita. Jangan lupa, syukur itu tidak dimaknai diam. Syukur itu kata kerja.

Kita memoles potensi diri kita. Dengan tidak mengeluh berkepanjangan sampai kehilangan karakter diri. Silahkan mengeluh tapi sisakan batas agar kita tetap terjaga.

Banyak hal terjadi di dunia ini tak selalu sebagaimana yang diinginkan, justeru terjadi sebagaimana takdir mengharuskan. Sebagaimana hamba kita tidak perlu menyalahkan takdir yang dirasa pahit, justeru perlu kita menyelami lautan hikmah di dalamnya apa.

Di sinilah letak kedewasaan teruji, apa kita berada di tahap menggali makna atau seperti anak-anak yang terus merajuk atas apa yang dihadapi. Syukur tidak menyalahkan Allah atas semua takdir pahit tersebut. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 12 September 2025  10.55

Posting Komentar

0 Komentar