| Acara Book Party Mingguan di Alun-alun Pandeglang. (Sumber: grup WA Book Party) |
Saya selalu suka dengan anak muda yang cerdas dan tertarik menggali nilai dan keilmuan, terutama soal keislaman. Umumnya mereka, ingin tahu Islam tapi bingung harus bertanya ke siapa dan bagaimana cara penyampainnya.
Bahasa mereka, adalah bahasa apa adanya. Hal ini kadang kurang dipahami oleh generasi yang tak sama dengan mereka. Misalnya mereka ingin bertanya, bagaimana status muslim, rajin salat tapi masih suka bohong.
Atau orang yang muslim tapi jarang ibadah tapi orangnya jujur sama bertanggung jawab. Atau mereka non muslim tapi secara kualitas kok lebih muslim daripada yang muslim sendiri, misal soal kebersihan. Mana di antara mereka yang dicap muslim yang baik?
Ketemu dua simalakama, mau jawab yang suka salat tapi masih suka bohong ini problematis. Mau yang jawab kedua, ini juga menimbulkan ketimpangan keyakinan. Benar idealnya, ya dia taat dan ya dia jujur dalam kesehariannya.
Dengan begitu tidak menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan yang akhirnya seolah "melihat citra Islam" yang kurang baik. Ini memang dunia, ada yang hitam, ada pula yang putih. Bahkan ada yang abu-abu keyakinannya. Bukan salah agamanya, tapi salah pemaknaan orang atau pelaksanaan terhadap agamanya.
Di sinilah perlunya memahami dan membaca siapa si penanya dan bagaimana menjawab dengan jawaban yang relevan. Kadang kala pikiran muda kurang dipahami, justru dicurigai. Sebagian tokoh tertentu malah memberi stigmasi yang kurang enak dirasa.
Saya pernah mendengar seorang ustaz senior mengeluh kepada sesepuh di kampung kami. Katanya di pengajian mingguannya, ada seorang pemuda yang aktif banget bertanya dan beliau merasa tidak nyaman. Pengajian di kampung memang tidak ada sesi tanya jawab macam di kota.
Tentu saya memahami ini, meski menyisakkan heran, kalau mereka tak tahu terus harus bertanya ke mana? Bukannya bertanya adalah hal biasa, ya. Di sekolah atau pendidikan formal aktivitas bertanya itu normal kok. Bahkan dalam strata teratas, guru bisa didebat oleh muridnya.
Sebagai pemuda tentu aku tahu bagaimana rasanya jadi mereka, sebab aku pernah berada di posisi tersebut. Pengen bertanya ke orang yang paham tapi tak sekedar bertanya namun mau mendiskusikannya juga. Cuma bingungnya, kok diberi respon yang kurang gurih.
Singkatnya, melek literasi memang kewajiban yang harus dilakukan para pemuda. Sebab, bertanya saja tanpa berusaha menggali sendiri apa yang buatnya penasaran kadang sering buat mumet. Bertanya itu alternatif setelah dirinya minimal tahu lantas bertanya sebagai pendalaman kajiannya.
Lalu, buku apa yang kiranya relevan sebagai pemantiknya?
Tiap orang punya kesukaan dan kecenderungan yang berbeda-beda ya. Kalau aku sih, membaca novel religi. Masa itu novelnya Habiburahman El-Shirazy. Setelah agak maniak baca, baru baca buku-buku keislaman; tokoh mana saja dan dan temanya seperti saja aku baca.
Kalau kurang paham terkait tema tertentu yang dibahas sebuah buku, biasanya mencari perbandingan pembahasaan dari tokoh lain. Kalau masih bingung juga, baru bertanya pada ustaz muda yang acapkali berdiskusi denganku soal politik islam dan dinamika keislaman di Timteng.
Kamu boleh mencari atau membaca buku sebagai rujukan ilmu keislaman kamu. Tapi ingat baik-baik, di atas kita ada yang lebih pakar dan diakui keilmuannya. Oleh karenanya, jangan karena sering membaca dan tahu banyak hal membuatmu merasa paling tahu. Merasa itu membuatmu menutup mata, ternyata di atas langit masih ada langit lagi. Wallahu'alam. (***)
Pandeglang, 13 desember 2025 22.08
0 Komentar
Menyapa Penulis