Muka Tidak lagi Adem

Foto Ai sebagai ilsustrasi. 

 Adik aku cerita tentang sebuah keheranan. Heran pada apa yang ia lihat dan rasakan. Itu pada seorang ustaz muda yang tiap ketemu dia katanya selalu buang muka. Muka itu tidak lagi adem seperti yang diharapkan.

Dia sampai bingung, ke kakak kok biasa tapi ke aku lebih macam gimana gitu. Respon aku, masa sih begitu. Dia meyakinkan dengan mimik serius. 

Hal itu tidak pula aku merasakan, pada dan sikap orang yang disebut 'ngerti' tapi kadang logikanya kurang dipahami. Aku cerita, suatu waktu tengah berdua sama orang ngerti ini. Tak lama anaknya datang, dia berujar,

'Tolong beliin Abi rokok ke warung itu, nanti kembaliaannya ambil ya," begitu katanya.

Sekilas tak ada yang aneh kan, masalahnya itu diujarkan di depan aku, dan aku seorang pedagang pula! Aku lanjut berpikir, ya sudah mungkin di sana lebih murah atau mungkin lebih dekat. 

Cuma aku heran, kenapa itu diujarkan di depan aku. Tak bisa kah di luar saja, jadi aku tidak terusik mendengarnya. Hak dia untuk beli di mana saja, tak ada masalah bagiku. Cuma mbok di depanku toh ya?! Entahlah mungkin ada perspektif lain yang tak aku pahami.

Aku pun berdiskusi di sela peng-kerokan tadi malam itu, kenapa sikap begini tak dipahami. Apa sih susahnya menakar hal begitu. Kadang hal begini buat kami orang awam heran.

"Kenapa sekarang jarang tampil jadi imam," katanya.

Nah, aku pun cerita keheranan juga. Ternyata jadi imam juga ada istilah persaingan. Sebagai amatir tentu aku heran, lah kok ajang unjuk gigi begini?

Karena sedari awal aku 'ditunjuk' bukan 'nongol sendiri' jadi imam, ya biasa saja. Justeru dengan ada yang tak ingin digeser aku makin nyaman, bebas jadi makmum. Bebas tak lagi terkena beban moral.

Ternyata muka tidak lagi adem itu sebuah ironi, dan pastinya mengherankan. Entah kenapa. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 28/10/25   11.34

Posting Komentar

0 Komentar