Soal Acep yang Ngaku Dirinya Gay

Acep di salah satu acara. sumber internet.

Tadi malam di komunitas literasi online yang aku ikuti, kawan-kawan di sana lagi geger. Geger mendikusikan postingan Acep yang mengaku Gay dan berniat mau log out dari Islam, keyakinan yang lama sudah melekat di hidupnya.

Kenapa mau murtad? Alasannya, karena lingkungannya tidak menerima ia gay dan agamanya dirasa tidak mengakomodir sisi kejiwaannya itu. Oleh karenanya, sebagai bentuk protesnya, ia mau keluar saja dari Islam di usianya yang ke 30 tahun.

Narasi itu makin pedas karena ia mengaku, ia sosok yang diharapkan jadi kiai oleh orangtuanya. Oleh karenanya, ia pun dimasukkan ke pesantren, padahal sejatinya ia tak mau. Demi ketaatan ia pun menurut. Ya, di pondok ternyata belum mampu mengubah jati dirinya dan orientasinya pada sesama jenis makin menjadi.

Karena postingannya itu, bisa ditebak terjadi huru-hara komentar. Bisa dipastikan banyak yang masih eling mencemoohnya. Bahkan, ada yang "menyebut" ia sudah pantas dibunuh. Ya dibunuh!

Kalimat dibunuh ini yang kami diskusikan di grup liteasi ini. Apa benar ada hadits nabi berbunyi begitu? Lantas bagaimana sikap kita terhadap kejujuran lgbt itu, terus sisi kemanusiaan akan dikemanakan. Dan begitulah, akhirnya Islam dan pesantren itu yang jadi sorotan.

Kawan-kawan cukup panas adu argumen, dan aku sih melihatnya, biasa saja. Dia mau LGBT, itu haknya dia. Pemuda Cianjur itu pun mengaku terkena HIV. Dia mau log out dari Islam dan bla-bla. Terus, apa yang harus dipermaslahkan?

Kalau dia "takut" karena punya kelainan seks akhirnya dicap halal dibunuh, itu respon. Dia lupa, dia kok yang speak-up maka kalau ada reaksi harusnya menyadari itu. Meski pun di sini, sebagaimana aku katakan pada kawan-kawan sikap sebagaian netijen tak semua patut dibenarkan.

Maksudnya, kita boleh tidak setuju dan marah dia sebagai LGBT. Pun tidak setuju dengan tingkah yang "membenarkan LGBT" dengan apa dan jenis yang dilakukan. Apalagi terbukti yang dia akui sendiri terkena HIV. Sedang kita tahu, penyakit itu termasuk penyakit yang mematikan sampai saat ini belum diketemukan obatnya. Namun tetap saja akhlak dan etika perlu diperhatikan

Kalau sudah begitu, tambah ngeri saja.

Sejauh bacaan aku, LGBT pernah didefinisikan WHO sebagai penyakit mental dan perlu disembuhkan. Namun berubah seiring berjalannya waktu, ini bisa dibaca dari temuan American Psychhiatric (APA) yang lebih dulu mengatakan LGBT bukan sebuah gangguan mental. Di tahun 90an itulah WHO membenarkan temuan APA itu.

Berbeda dengan medis di Indonesia yang masih mengkategorikan LGBT sebagai ODMK (Orang Dalam Masalah Gangguan Jiwa). Kenapa berbeda dengan perspektif medis global? Alasannya sederhana, karena konsesus medis dan psikologis kita didasarkan pada nilai-nilai budaya dan agama kuat.

Itulah kenapa pemerintah selanjutnya di tahun 2016 melihat isu LGBT bakal mengancam ketahanan negara, lantas membuat upaya menanggulanginya. Bagaimana pun nilai kekeluargaan masih kental di negeri tercinta, oleh karenanya, tidak menormalisasi gerakan LGBT dan sejenisnya.

Oleh karenanya, kalau Acep masih mau kekueh dengan identitas dirinya sebagai LGBT, maka terserah. Cuma sebagai catatan, jangan terlalu baper. Karena dia hidup dan besar di negara yang masih menjungjung nilai budaya dan agama. Perlu dicatat, hampir semua agama dunia menolak LGBT. Jadi, bukan hanya Islam.

So, semoga dengan penyakit yang kamu rasakan, tentu saja sebagai mantan santri kamu tahu, itu ujian kamu agar lebih sadar lagi agar mau move-on. Tak ada kata terlambat, semua bisa kembali. Selebihnya, wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 10 Desember 2025 11.43

Posting Komentar

0 Komentar