Kepincut Gadis Dunia Maya

Ilustrasi Siluet Wanita Maya. Sumber internet

Apakah pertemuan selalu jadi cerita?

Aku tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Pastinya, semua butuh dan perlu untuk dipastikan nasibnya.

Dan kini, diambang harap dan kecemasaan. Suara itu pun mengular dengan cemooh: terus, akan kamu bawa ke mana?

Dengan kopi di gelas dan buku di tangan, aku hanya diam mematut diri.

Hmp, sebelumnya, aku mengenalnya di maya. Kami tidak saling kenal, akan tetapi karena satu kepentingan dipertemukan masa.

Kami merasa dekat dan akrab, padahal itu awam kami kenal. Tak sengaja. Begitu cepat dan membekas.

"Aku hanya orang biasa, yang tak harus kamu harapkan."

"Terus aku siapa?"

"Kamu kan anak ibu dengan bapakmu. Haha."

"Kalau sudah tahu begitu, berarti kita sama-sama anak manusia. Kenapa begitu takut?"

"Bukan takut. Aku hanya cemas. Jarak terlalu jauh memisahkan. Lagian kamu belum tahu tabiat dan parasku aslinya gimana. Aku gak mau, semua hanya jadi penyesalan nantinya."

"Kok sejauh itu kamu berpikir?"

"Pasti! Karena ini soal masa depan. Dan aku, wanita. Yang tak akan sama dengan duniamu."

Setelah itu, tak ada lagi info dan kontek antar kita. Kita telah memilih jalan berbeda. Kamu dengan kecemasanku dan aku dengan semua beban juga pikiran yang mengharapkanmu.

Pada jadinya aku berpikir, apa salah memiliki dan mengharapkanmu? Benar, jarak terlalu jauh jarak memisahkan kita. Kita terseok badai dan terkapar di lautan harap, untuk waktu tak tentu diam dalam rasa bergejolak.

"Maaf, bukan aku tak mau menunggu, tapi terlalu lama menunggu hanya menghancurkan jiwaku. Sedang aku tak tahu, akan ke mana arah menunggu itu."

"Terus, kita gimana?"

"Tidak harus gimana. Kita nikmati dan menerima keadaan. Siapa ketemu jodoh paling cepat saling doakan."

"Kalau kita bersama boleh terus dimunajatkan?"

"Boleh. Akan tetapi jangan jadi siksaaan. Kita percaya dan pasrahkan pada-Nya."

"Semoga kamu bahagia di sana, tanpa atau denganku selalu begitu."

"Kamu jua begitu. Semoga bahagia."

Kamu tahu, hari ini aku tidak sedang baik. Jiwaku terasa terbakar. Bukan karena masa lalu akan menikah, bukan. Aku hanya merasa, kenapa proses menemukanmu begitu lama sehingga sisa rindu begitu panas bak lahar di pucuk gunung merapi.

Semua memang ada masanya, akupun masih leluasa melihat paras (?) dan kata-katamu di duni maya. Meski kamu tak tahu dan jangan tahu, pasti marah.

Aku hanya cemas, untuk satu ragu yang belum aku pahami. Sedangkan begitu banyak mentari bersinar dan kumbang terbang di astana jiwa. Aku takut, takut terjerebab di ambang tersebut.

"Kamu harus kuat! Bukan demi aku tapi demi kesucianmu."

Ya. Kamu benar. Aku harus dan bisa kuat. Bersabar akan takdir ini. Berat dan penuh onak duri. Kadang aku ingin menyerah, di waktu lain ingin mengutuk masa. 

Aku insan biasa yang tak sekuat kata mereka. Ada sisi jiwaku yang lemah. Ya sudah, ini prosesnya kan? Betul katamu, harus kuat. 

Ingat ya, meski kamu seumpama siluet, tidak menurutku. Kamu punya spesial di sini. Tersimpan. Terjaga. Aku tak peduli bagaimana jarak memisahkan. Justru percaya, saat Allah takdirkan sesuatu tak ada yang bisa menolak apalagi menunda. Itu saja. (*)

Pandeglang  |  26 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar