Melawan Tikus Berdasi

Gambar Ilustrasi. 
 
Di suatu desa yang permai dengan masyarkat mulai penuh, demokrasi di sana masih amburadul teman-teman. Hak rakyat diperkosa di depan khalayak. 

Bukan tak ada yang tahu, banyak malah. Mereka diam karena takut dengan resiko. Seumpama granat, satu saja berani mencabut tutup granat maka semua kebagian ledakannya.

Daripada berontak mending diam dan cari aman. Para kapitalis desa menang, para kacung tertawa, para pencuri ceria, dan para birokrat nakal sedang di puncak kuasa. Tak ada yang bisa mengusik ketentraman mereka.

Tapi mereka salah, sungguh salah. Diamnya desa bukan tak ada singa dan kumpulan predator. Justru di balik diam itu, ada sekelompok warga yang diam-diam tengah bergerak. Mereka warga yang peduli nasib anak cucu kelak.

"Pokoknya, kita harus lawan!" Kepal tangan Arman kakak tertua di sana.

"Tetap saja, kita gak boleh gegabah. Siapa yang kita lawan bukan ecek-ecek. Harus diperhitungkan." Saran bijak Pak Sam'un sebagai kepala keluarga.

"Tapi kalau harus nunggu, mau kapan? Ini mumpung ada momen cantik. Gibas aja lah." Jawab Olan si bungsu.

"Tapi tetap, saran bapak baik sekali. Saya setuju. Untuk melawan para bandit kita harus cerdas, cerdik, dan berani. Tidak menutup kemungkinan saran Olan juga cakap. Kita jangan nunggu lagi," seru Ali menengahi anak kedua. "Gimana Ma, lanjut jangan?"

Sosok yang disebut Emak itu masih diam, ia masih ragu. Bagaimanapun ini idenya untuk melawan kesewenangan, maka suaranya patut jadi acuan.

"Ya sudah, lanjutkan. Tiga hari lagi kita gegerkan warga dan bongkar kelicikan para aristokrasi desa kita. Bismillah, kita siap!"

"Siap!"

"Allahu akbar!"

"Allahu akbar!"



Posting Komentar

0 Komentar