Sebuah Renungan: Untukmu Diriku!

Dear diriku,

Apa harimu penuh warna tadi? Apa masih sama dengan kemarin, ada penyesalan dan rasa sesak di dada. 

Salahnya mereka, katamu. Masih terus membandingkan dirimu dengan orang lain yang lebih sukses. Memandang rendah dirimu yang belum jadi apa-apa.

Kamu bisa menulis, tapi tulisanmu jadi tumpukkan di rumah. Tak ada yang mau meminang, atau membaca. 

Kamu bisa bicara, tapi tetap saja kamu belum punya panggung. Pembicaraanmu bak tong kosong bunyinya. Tak memiliki arti untuk nasib.

Kamu mulai terpuruk!

Di mata mereka, dirimu secuil benda yang tak pantas ada di bumi. Tak da beda kamu dengan sampah yang bau lagi apek. Untuk itu, tak memperdulikan hadirmu cara mereka agar kamu sadar kamu bukan siapa-siapa. Tak punya makna apa juga.


Dok. Pribadi

Tadinya kamu mulai menerima kenyataan ini, dan mengatakan bahwa benar adanya semua hanya ujian. Harus dihadapi juga diterima. Tapi lama-lama, perih juga. Goresannya terus terasa mengiris hati.

Kamu ingin berlari dari kenyataan ini, lelah akan takdir ini. Pernah juga kamu ingin menyalahkan Allah akan semua keadaan yang di alami. Ternyata tak mudah ya, kamu tetap tersungkur di tubir realitas.

Dear diriku,

Melangkah, terus melangkah. Jangan berhenti. Bangun kepercayaan diri, tutup telinga, buka mata hati yang suntikkan energi diri.

Perlu kamu tahu, betapa banyak orang besar tadinya mereka berangkat dari segala problem. Ada yang serupa dengan masalah kamu, tapi lebih banyak dari mereka yang lebih tragis hidupnya darimu.

Apa mereka menyerah?

Tidak sama sekali, justeru itu jadi cambuk untuk terus semangat. Terus mendorong untuk tetap terjaga. Tak letih, dan tak ingin patah arang.

Dunia tak menutup mata. Sejarah tak amnesia. Mereka terus hidup meski jasadnya sudah mati. Dagingnya habis dimakan makhluk di dalam bumi. Tidak dengan nama besarnya, sampai kapan saja harum dikecup peradaban manusia.

Dear diriku,

Saat kamu ingin menyerah, sesungguhnya itu yang diharapkan mereka yang tak suka denganmu. Mereka ingin kamu terpuruk. Kamu hancur. Kalau bisa berkeping-keping. Macam gelas yang jatuh ke lantai.

Saat kamu menyerah, maka kalah. Dan itu, hanya akan menambah cercaan nyata mereka. Semua tak akan berhenti, karen ini bukan ilusi.

Dear diriku,

Mereka takut tersaingi. Hanya itu. Sedang kamu takut kehilangan harga diri. Jaga image. Bagimu diri itu sudah penuh dosa. 

Lalu, apa bedanya kamu dengan mereka atas sikap respon yang ada?

Apa sama ya? 

Bangun dari mimpi buruk itu. Buka mata, buka wawasan. Bumi ini amat luas diriku, bahkan kalau mau membandingkan dengan rahmat Allah tentu jauh langit dan bumi.

Dear diriku,

Mulailah menerima kenyataan. Belajar berdamai dengan rasa sakit itu. Masalahmu itulah ladang amalmu. Seluruh takdirmu itu wasilah surga. Jalan yang akan menuntun pada rel yang digariskan Pemilik Arasy, Allah jalla jalaluh.

Cobalah buka sudut pandangmu, tidak lagi fokus pada rasa sakit itu. Tidak pada hal negatif. Fokusmu pada hal esensinya apa untuk masa depanmu.
 
Dear diriku,

Kata keluhmu bukan lagi: kenapa masalah tak henti datang ke hidupku? Kenapa Allah tidak cabut semua masalah ini? Kenapa mereka yang ingkar Allah beri kemudahan, tapi aku yang taat terus dipeluk masalah? Allah tidak adil?

Dear diriku,

Ucapkan istigfar, ucapkan dengan sepenuh jiwa. Hadirkan jiwamu di sana. 


Pertanyaan kamu pun mulai berubah: atas masalah ini, apa gerangan yang Allah harapkan dariku? Aku tidak mau meminta masalah tidak menyapaku, tapi aku berharap Allah beri kekuatan atas setiap masalah? Di balik masalahku, pasti ada hikmah. Masalahnya, aku harus sabar. Itu saja.

Dear diriku,

Ayo, tata diri. Bangun dari mimpi buruk itu. Tutup imajinasi negatif di sana. 

Melangkah...

Semoga kamu kuat, sekuat karang di lautan. Meski badai menerjang, ia terjaga. Tak mau kalah oleh hambatan. Justru hambatan itu yang terus membuanya kuat.

Semoga kamu kuat, duhai diriku. (*)

Pandeglang |  8 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar