Tersentuh Oleh Shalawat Nahdiyyah

NU di jantung bangsa bukan sekedar cerita. Ia hadir dan menemani, bahkan jadi arsitek bangunan negara republik ini. Baik sebelum dan pasca merdeka, selalu menyumbangkan gagasan juga idenya untuk eksistensi NKRI.
Wajar kemudian kalau ada sedikit warganya bersikap berlebih atas serangan tak henti pada NU. Orang di luar NU menyerang balik dengan bahasa yang tak kalah pedas. Perang urat syaraf macam ini terus berlangsung sampai kini.


Kita bisa melihat respon sementara publik atas statment Menteri Agama Qoumas yang mengatakan bahwa Kementeriaan Agama ialah hadiah negara kepada NU atas dedikasinya. 

Apa ini berlebihan?

Tergantung siapa yang melihat. Kalau kita gunakan dua kacamata melihat sejarah secara obyektif, tidak salah pula kalau Pak Menag bicara demikian, karena Santri dan Kiai orang yang terdepan mengobarkan api perlawanan demi tegaknya kemerdekaan.

Seperti yang kita tahu, NU telah mengunci lembaga pendidikan berbasis pondok dan santri sebagai ummat-nya. Sekalipun tak terdaftar secara struktural, pastinya tercatat secara kultural.

Akan tetapi bicara etis, tentu ucapan Menag itu berlebihan. Bukan anti NU atau menutup sumbangsih NU, kan banyak tokoh lain pun yang berjuang.

Kalau itung-itungan siapa yang lebih lama hadir di bumi nusantara, kita tentu bisa menyebut Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis, dan lainnya. Mereka lebih tua, tapi tak mengklaim apa-apa. Mengaku Muslim cukup.

Terlepas dari perdebatan itu, saya amat takjim dengan NU. Mencintai para Ulama dan tokoh-nya. Secara struktural tak punya darah NU, tapi secara kultural kami masuk keluarga besar NU. Amalan dan ritus NU ialah adat kami di sini. 

Ngomong-ngomong NU, mustasyar-nya sekarang kan ada dari Cadasari (?). Allahu yarham Abuya Muhtadi ibni almagfurlah Abuya Dimyati Cidahu, Cadasari, Pandeglang.

Tapi yang saya bicarakan bukan tentang itu tapi lagu shalawat NU yang viral itu. Hati saya tersentuh untuk terus mendengarkan lantunan suara indah Veve Firdaus, dara cantik dari Jawa sana.

Meski saya tidak paham apa artinya, hanya modal mendengarkan sudah suka. Lagian namanya suka kan tak butuh alasan. Seperti suka pada seseorang kita tak harus mencari alasan kenapa, karena suka hadir begitu saja di astana jiwa. 

Begitupula saya mencintai sholawat itu, suka tanpa tahu kenapa. Rasanya bolehkan, ya? 

Jangan curiga saya suka pada nama yang disebut di atas ya, serius tahu diri banget. Siapa dia dan saya siapa.  Tapi kami sama-sama manusia. Haha. (*)

Pandeglang |  07 November 2021

Posting Komentar

0 Komentar