Adakah Cara Menghentikan Lintasan Pikiran?

Ilustrasi tengah melamun. Sumber: Dokumen pribadi
---

Pernahkah senja menyapa pikiranmu?

Saat kamu ingin nyaman, diam, dan tak mau dengan pikiran mengancam di jiwa. Pikiran yang menakuti. Memberi kecemasan. Kamu tersenyum dengan pahit deras terasa.

Senja itu mode menyongsong gelap menuju terang purnama. Bukan hanya gelap. Bukan sekedar sunyi. Atau kesekian karma yang memuakkan rasa.

Tentu saja senja hanya istilah menuju hiasan makna. Atas untaian terlintas di kepala tentang banyak hal. Tentang aktivitas. Menjemukkan atau bisa menyesakkan.

Saat kita punya masalah dengan seseorang. Sudah beres masalah. Tak ada lagi cela. Entah sialan atau apa, lintasan berurutan berkata

"Tuh kan, dia terus waspada."

"Liat ekor matanya! Masa dari tadi curi-curi pandang. Katanya damai. Kok gitu."

"Jangan tertipu. Meskipun damai katanya, ada sesuatu di sana. Bukan jaminan ada damai."

"Sikapmu sok suci. Padahal siapa kamu?! Lihat, kamu ditertawakan."

Percaya atau tidak lintasan yang ada menambah runyammya problem. Kamu ingin lepas landas, ada separuh harapmu dipatahkan. Semua mengalami. Pasti tahu.

Pakar psikologi amat paham. Dan itu, tak jarang menimbulkan kepribadian ganda dalam jiwa. Menumbuhkan keprihatinan. Kamu ingin bangun tetap terseok. 

Akan hal itu, kamu harus bagaimana?

Tak ada cara lain selain hadapi. Menghadapi tantangan ada. Tanpa hilang sikap ksatria paham akan resiko. Kian hari makin percaya menggeprak kenyataan.

Lintasan yang ada hanya istilah kejemuan. Proses menemukan arti resonsasi. Bukan lagi mencari apa, tetapi mengarah untuk pemikiran yang sudah matang pada hal urgen pasti.

Pada epos Mahabarata misalnya kita bisa belajar dari sikap teguh anak Pandu melawan kelicikan dan kejahatan nyata anak Kurawa. Terang-terangan. Himpitan makin nyata dengan segala tipu daya. Tak ada daya. Ucapan bijak pun jadi hiasa belaka.

Sampai pada perang bersaudara di kurusetra. Perebutan kerajaan Hastinapura dan Indragiri menjadi momok panas dalam pedebatan.

Kita bisa bayangkan lintasan macam apa di pikiran anak pandu yang terus saja mendapatakan sikap diskriminatif ruang sosial. Mau apa dan bagaimana. Inilah jadi acuan kita merenung sejauh mana mengoreksi diri yang mudah lapuk oleh masalah.

Lakon hidup orang lain begitu diri kita esok akan jadi ibrah. Sepatutnya segala apa yang kita alami dihadapi.

Semua akan menemukan muara yang menuntun pada kepastian. Keraguan akan menemukan keyakinan. Yakin akan percaya terus dibangun, ditumbuhkan.

Untuk itu, kalau kita bertanya apa semua akan menemukan pintu penyelesaian. Jawabnya, iya.

Seperti kata Gus Dur, "sabar itu tak ada batasnya. Kalau sabar ada batasnya itu bukan sabar namanya." [ ]

Pasar Pandeglang |  28 desember 2021

Posting Komentar

0 Komentar