Menulis dan Gejolak Emosi

Ilustrasi menulis harian

--
Menulis katanya pelepas nafsu negatif, bisa juga penyalur emosi yang tertinggal. Harus diungkapkan agar tak beban di hati. Cara bagi seorang penulis ialah diungkapkan semampunya. Caranya ya itu, dengan cara yang dia mampu. 

Tapi anehnya, apa yang saya salah atau tidak memahami, emosi saya sering dan belum mampu dijaga. Sering meletup di waktu dan saat yang tak terhindarkan. Ingin dikontrol tapi tak lepas begitu saja. Saat itu, greget seperti menusuk jiwa. Kemarahan berjung pada penyesalan. Padahal sudah menulis dan dituliskan.

Di saat genting demikan barangkali solusinya diam. Menggerutu di hati: heuh, kenapa bisa begini?

Dipikir-pikir diberi anugerah suadara yang "belum ideal" memang tidak mudah. Berbicara mudah seolah itu takdir. Menjalaninya tak cukup bicara, dan itu butuh tenaga ekstra. 

Keperibadiaan hilang seketika  berubah menajadi paradoksial militan. Di momen begini agaknya wajar kalau emosi tidak seimbang dan kerukunan rumah sering ramai tak terkendali. Sebuah situasi yang perlu disikapi dengan kepala dingin sekalipun kepala serasa mau meledak.

"Namanya kehidupan. Ujian itu proses naiknya derajat." Begitu sering saya nasihatkan. 

Pada kenyataannya?

Tak semudah membalikknan telapak tangan. Hari ini dan seterusnya saya mencari sikap mana yang kiranya tepat dilakukan. Ini hidup saya dan saya harus bertanggung jawa terhadap masa hidup. Hal ini kadang menyadarkan saya bahwa pasangnya kehidupan harusnya membuat kuat dan surutnya terjaga. 

Kemudian melihat ihwal bunuh diri, persentasenya dari data di seluruh dunia cukup mencengangkan. Padahal secara status sosial, pendapatan,  posisi kerja, dan fisik rata-rata ideal dalam kenyataan merek "memilih" mengakhiri masa lagi nyawa!

Melihatat kenyataan ini, dua hal saya menanggapi:

Pertama, dipahami juga diwajarkan. Bisa jadi ia tengah dirundung masalah pelik; siksaan batin dan tekanan hidup sudah tak mampu lagi dihadapi.

Hidup tak terasa mending mati agar cepat selesai saja. Mungkin begitu gerutu hatinya. Jangan dikira hidup ideal dan memiliki apa saja lepas dari masalah, justeru sebaliknya memilki banyak hal membuka kran masaalah untuk mengalir deras di kehidupan.

Masalah seorang anak tak akan sama dengan orangtua yang lebih berupa, begitu juga masalah seorang Presiden tak sama dengan masalah seorang Bupati yang lebih kompleks pastinya. Ini momen krusial banyak tak dipahami kita.

Kedua, kenapa tidak melangkah dari masalah. Maslah itu bukan akhir kenapa menyerah. Bunuh diri pada jadinya hanya memberi tekanan dan itu bukan cara yang cerdas dihadapi manusia yang memiliki daya sempurna.

Jalani dan hadapi saja. Bisa jadi dari tekanan lahir kepuasaan atau berkah tak terkira. Bukannya di balik dalamnya lautan tersimpan mutiara amat mahal. Hanya mereka yang punya mental pemenang saja mampu menghadapinya. Masalah satu demi satu dijalani dengan gagah, tak peduli harga untuk itu nyawa.

Kalau untuk perhiasaan dunia sana mereka begitu, kenapa untuk masa depan abadi kita memilih kalah. Di sini letak masalahnya.

Any way, saya memilih untuk tetap menulis. Setidaknya, ada yang plong meski belum semuanya. []

Posting Komentar

0 Komentar