Ulasan Tentang Ustadz Media dan Layar Kaca

Ilustrasi: Akun aktif di Instagram

Dawah itu bisa di mana saja, dan yang pasti fleksibel. Tidak harus selalu kaku lagi monoton. Begitu ungkapan yang sering terdengar.

Kalau dulu, banyak yang kurang sreg berdakwah mengikuti kemajuan zaman, tidak sekarang yang smartphone menjamur di pasar. Bisa dan mampu untuk di jangkau berbagai kalangan.

Bahkan laporan dari badan survey menyebut, angka melek internet melejit seiring kemajuan iptek. Tak ayal, dunia maya banyak dijadikan dunia kedua untuk istirahat sejenak dari kenyataan hidup atau lahan peruntungan menebalkan isi dompet. 

Ustadz Dunia Maya

Ustadz teve atau ustdz seleb itu sering distigmakan pada dai yang sering nongol di layar kaca, menemani hari-hari dengan tausyiah atau kajian rutin.

Seiring pesatnya perkembangan, merambah pula pada dunia maya. Dunia yang sering di singkat dumay. Seperti Facebook, YouTube, Instagram dan lain-lain telah menyongsong karib di tengah arus globalisasi.

Kajian selalu update dengan tema menarik disuguhi menemani kegersangan paham hedonistik lagi futuristik.

Demam ini ikut pula merambah menjadi tren, kalau dulu bidang garapan dakwah terkesan "tua'", sekarang tidak demikian, muda kreatif lagi paham perubahan ikut mewarnai.  

Suara Sumbing

Akan tetapi, realitas dakwah itu memiliki minus yang disorot. Tren yang berkembang memberi kecemasan. 

Karena sering nongol di layar media, banyak suara antipati terdengar. Seperti menyebut ustadz settingan, bayaran, atau sekedar cari pamor untuk memusan hasrat tersembunyi.
Esensi dakwah yang seharusnya putih menjadi "ladang abu-abu", ada pula menjadikan lahan hijau bisnis. 

Nada ini bukan sekedar isapan jempol belaka. Menyaksikan dari sedikit yang 'sering nongol itu' terjerat kasus kriminal, membawakan kajian amat ringkas, menunjukan statmen yang sering buat gaduh serta lain hal sensitif mencengangkan ruang sosial.

Nama harum yang tak diimbangi pengetahuan yang cukup menjadi bumerang. Istilah almarhum KH. Zaenuddin MZ itu potret pergesaran nilai. Kentara dan nyata terlihat. 

Cemooh sering jadi bumbu pada mereka di antaranya karena 'gaya glamour' juga hedonis ditunjukkan. Bukannya menuntun ummat pada jalan yang Allah ridhai, pada bentuknya kalimat 'atas ridha Allah' dijadikan alat sekruk pesona dunia.

Bukannya menuntun ummat dari dekadensi moral akut, jadinya terbawa arus yang menjerumuskan pad lahan gersang peradaban modern.

Istilah Ustadz TV maupun Media pun semakin kabur memuat keprihatinan semakin menjadi-jadi karena disampaikan oleh mereka yang awam dalam ilmu agama, modal nekat dan cerobohnya pihak media meng-orbitkan tanpa kepekaaan sosial. Secara otomatis, kualitas tren terjebak dalam komoditas ekonomi dan ratting belaka.

Evaluasi dan Edukasi

Dengan demikian, evaluasi terus dan mesti digalakan. Pastinya edukasi menjadi sarana membuka lipatan pengaturan.

Pelatihan kaderisasi bisa membuka hal curam sehinga menjadi insan-insan cerdas lagi inspiratif di tengah peraliah zaman. Semoga saja. (*Berbagai sumber).

Pasar Pandegang | 25 Januari 2022

Posting Komentar

0 Komentar