Perihal Mimpi Tadi Malam



Masih hangat terbayang bagaimana  mimpi  tadi malam menyapa, berbagai kejadian menyeruak seolah itu terjadi. Bukan mimpi, terasa nyata.

Saya mencatat ada tiga peristiwa masih lekat dalam ingatan; Pertama, nasihat dari Abah Emi. kakak ipar dari adik saya. 

Semenjak meningalnya suami adik saya itu, menambah ada yang tidak beres dengan hubungan keluarga.

Kalau harus jujur, semenjak akad bibit itu terasa. Entah kenapa itu terus meruncing. Apa karena ketidakcocokan; apa kepentingan harta atau karena kepentingan yang lain.

Kalau harta mungin aneh juga, apa sebelumnya tak ada pembicaraan dalam keluarga besar itu. Hingga saat tanah kuburan masih merah kok tidak malu geger?

Kami sendiri sebagai bagian dari pihak sebelah tidak akan mempersoalkan terlalu sengit, kalau tadinya dialog dan kesepahaman-pengertian maka kami fine-fine saja. Tetapi ya itu, sikap dan tindakan dari keluraga itu kurang memperhatikan etika yang ada. 


Mereka yang 'merasa memiliki' tanpa mau mengindahkan aturan agama terkait iddah-- kewajibannya bagaimana-- terkait inplementasi hak anak, hak yatim, dan nafkah dari keluraga.

Belum soal saat almarhum sakit, sikap dan kepedulian nyaris tak ada. Belum soal pelanggaran hukum positif negara yang banyak 'ditilep' oleh oknum menambah keruncingan hubungan keluarga kami.

Saya rasa wajar kami tersinggung, bahkan marah sekalipun. Terlepas dari itu, kami tidak terlalu hanyut dalam perdebatan panjang. Kalau ketemu pun wajah biasa saja. Tidak ditekuk masam. Kalau sudah terjadi, ya terima takdir, itu saja. 

Hal yang membuat terus tertanam dibenak ialah bagaimana Abah Emi menasehati saya di depan umum dengan kucuran air mata menyentuh sanubari saya, puluhan mata menyorot. Saya ingat kata-katanya:

"Jangan dengki. Harus bisa jaga diri. Sebagai jiwa harus mampu menghadapi ujiaan," seterusnya saya lupa. Namun wajah itu amat lekat, nasihat dengan raut tulus. 

Saya sungguh terenyuh!

Kedua, pertemuan dengan nenek yang memiliki cucu satu-satunya. Entah saya sengaja ingin 'apel' ke sana, atau karena keperluan lain. 

Saya lupa, lagi!

Saya dihadapkan pada kenyataan di depan orangtua wanita itu, ditanya terkait keseriusan saya kepada wanita itu.

Dada saya bergemuruh, Cemas sekaligus senang tidak terkira. Seolah nyata.  Detik-detik menjelang fase hidup itu sungguh menakjubkan. 

Mungkin begitu rasanya meminang anak orang ya?!

Ketiga, saya menyampaikan sikap keadaan adik saya tentang sikapnya yang amat kami ganjil. 

Saya sampaikan pandangan dan keluhnm itu, naas ... hal itu terdengar olehnya. Sehingga di balik tabir kamar ia meracau dengan kekesalan tinggi.

Sempat mengutif kalam entah sabda nabi. Saya tersentak sekaligus menyesali pandangan yang dikemukakan.

***
Dari kejadian itu angan saya terbang pada buku Sigmunt Freud berjudul The Interpretation of Dreams. Di buku itu, Freud menjelaskan bagaimana mimpi sejatinya memiliki makna.

Bisa pelarian atau pesan tersembunyi dari peristiwa di alam nyata. Di sini perlu interpretasi atau tafsir agar mampu menggali arti di balik tabir tersebut. 

Jawaban saya, bisa jadi benar mimpi itu, bahwa ada yang salah dengan hubungan saya dengan ketiga faktor di atas.

Maka seharusnya mampu mendeteksi makna apa, sampai pada pemahaman sepatutnya saya tidak terbawa keadaan apa; hingga menjadikan emosi sebagai penyelesaian dari konflik yang ada.

Dari tiga mimpi itu, saya merasa disuntikan dengan tenaga segar dan alhamdulillah tergugah. Tenyata, selama ini belum maksimal mengelola diri. []

Pandeglang | 8/2/22

Posting Komentar

0 Komentar