Kamu (Bukan) Kupu-Kupu

Kamu (Bukan) Kupu-Kupu
_________________________


"Apa kamu yakin dengan harapanmu?" wanita dengan pakaian minimalis lagi modis itu.

"Aku yakin."

"Kamu tahu kan pekerjaanku dan kamu lihat penampilanku sekarang. Tolong, jangan siksa aku dengan harapanmu itu. Ini konyol!" Katanya dengan tatapamn berkaca dan suara bergetar.

"Konyol? Ara, aku ingin menikahimu. Aku serius ingin memilikimu seutuhnya. Di mana letak salahnya?"

"Kamu itu santri Adi! Santri! Bapakmu guru ngaji di kampung."

"Terus..."

"Aku pe-lacur! hik hik hik," tangisnya memecah keheningan di kosan-ku. 

Jam menunjukkan pukul 3:15 lebih. Suara senggukan masih terdengar nun jauh di sana. Ara, si gadis manis kebanggaan kampung kami tercebur di dunia hitam. Dunia yang membelenggunya sehingga menelanjangi rasa percaya diri.

"Tapi, aku..." 
 
Tut!

Percakapan kami terputus atau sengaja diputus. Entah bagaimana lagi meyakinkannya lagi. Setiap sampai pada prcakapan ini, pasti mentok tak ada balasan. Aku tahu dengan status bapakku di kampung dan seprti apa nanti keputusannya, tapi aku sudah dewasa dan berhak memilih jalan hidupku bagaimana.

Ini hidupku dan aku sadar dengan keputusanku. Ara memang wanita malam, entah sudah berapa pria hidung belang menidurinya. Akan tetapi dia juga wanita yang berhak untuk bahagia, ceria dan dihormati. Aku yakin dia bisa berubah.

***

Matahari menyembul di ufuk timur. Langit nampak cerah dengan warnanya. Roda kehidupan ibukota mulai berputar. Ara masih termenung di ruangan 4x4 itu. Memandangi langit kamarnya yang mulai terkelupas. 

Di sinilah sepuluh tahun terakhir dia berjuang. Sendiri. Selepas dari Madrasah Aliyah merantau ke kota berharap merubah kondisi ekonomi keluarganya. Ibunya buruh cuci di komplek Cigadung. Ayahnya meninggal saat dia balita meninggalkan lima buah hatinya. Dia anak sulung.

Kalau boleh memilih, dia ingin melanjutkan study-nya. Dia ingin seperti teman-temannya menikmati masa muda dan bergelut dengan dunia pemikiran. Nampaknya takdir berkata lain. Si bungsu terkena penyakit dan itu membutuhkan dana tidak sedikit. Sebagai anak sulung dia paham, tugas apa yang harus dikerjakan.

"Ara!" Suara yang familiar dikenalnya.

Lanjutnya, "Di makan tuh buburnya, nanti dingin. Aku kebagian sip pagi," katanya merapikan make-up tipis dan bajunya. Erna kerja di salah satu kantor bank swasta. Sepuluh tahun ini dia yang menemani dan teman sekamar yang tahu seperti apa aku.

"Makasih ya, nanti aku makan. Lagi kurang selera."

"Jangan gitu nanti kamu sakit. Ingat adik-adikmu dan ibumu. Mereka butuh kehadiranmu, bukan tangisanmu!"

"Iya Na, aku tahu. Tapi laki-laki itu?"

"Niat dia baik dan sudah kenal kamu, kamu juga. Terus, untuk apa kamu lamunkan?" Kembali pertanyaan itu diutarakan Erna. Sebelumnya aku sudah cerita tentang Adi pada Erna, siapa dia dan keinginannya mempersuntingku.

"Tapi, tapi, aku ini..."

"Kamu itu pelacur? Terus kenapa, Adi tahu itu dan memilih menutup mata. Aku yakin, bukan sembarang laki-laki macam dia memutuskan itu."

"Aku takut, takut dengan resikonya," tangisku pecah tak terbendung lagi. Sesak dada ini menahan luapan perih tak terhingga. Mungkin lain ceritanya kalau bukan Adi yang meminta itu, tapi Adi?  Ya Allah, aku terlalu kotor untuk menjadi isterinya.

Erna memelukku, "kamu pasti kuat sayang. Setiap orang punya dosa dan sebaik-baik dosa mereka yang kemabli pada-Nya. Begitu kata Nabi yang aku dengar di kajian Ustaz kondang."

Setelah tangisku mulai reda. Erna pamit untuk berangkat kerja. Kadang aku iri dengan hidup Erna, dia bisa kerja di tempat yang bagus. Gaji pun lumayan. Tiap bulan biasa mengirimkan uang halal pada kedua orangtuanya. Dia juga sama anak sulung dari bersaudara.

"Nasib orang beda-beda Ara. Jalani takdirmu dan terus usaha dari lembah hitam itu," begitu katanya suatu waktu.

Ya Allah, apakah layak pendosa ini mendapat laki-laki sesoleh itu? Lirihku.
.
.
.
Bersambung

# kamu_kupu_kupu

Moga aku bisa lanjutin ceritanya ya? Haha

Pandeglang, 13 September 2022  13.47

Posting Komentar

0 Komentar