Pesan Nabi Terkait Mengungkap Rasa, Tidak Harus Cinta Dalam Diam



Pernahkan kamu mendengar cerita tentang cinta dalam diam yang disandarkan pada sayyidatina Fatimmah Az-zahra kepada sayyidna Ali karramallu wajhah?  Sampai-sampai setan tidak tahu getaran syahdu di balik jiwa putera cinta Sang Nabi itu?

Kalau kamu sudah mendengar bahkan sempat baca, maka kita sama-sama harus mencari di mana sumber itu berasal. Sebab setelah aku baca dan cari dari beberapa referensi belum jua ditemukan. Sekalinya ketemu di karya fiksi atau macam renungan, dan itu secara data belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Singkatnya, kita kudu hati-hati menjaga lisan kita. Niat kita mungkin baik tapi siapa nyana itu bisa mencoreng kesucian Ahlu Bayt yang telah Allah puji di dalam al-Qur'an. Tidak ada atau belum ada Ulama yang menceritakan demikian, dan bisa jadi mengingkari kebenaran puteri nabi telah memendam rindu pada lelaki yang belum halal.

Tenang saja tulisan ini tidak akan terlalu jauh membicarakan itu, fokus kita pada makna cinta memendam itu apakah selamanya baik atau sebaliknya. Betapa selama ini kita "dikungkung" oleh rasa tidak ingin mengungkap rasa di dasar hati  takut dosa menambah di catatan hidup ini.

Padahal dosa itu soal sikap kita. Apakah dengan mengungkapkan atau memendam itu. Rasanya kita perlu belajar pada pesan nabi saw. 

Hal ini pernah disampaikan oleh banyak dai. Ceritanya, suatu waktu ada seorang sahabat nabi yang mencintai sahabatnya. Maka apa saran nabi terkait sahabat yang dibakar rasa itu?

"Ungkapkanlah rasa itu," kata nabi,  "agar  siapa yang kamu rasa itu tahu seperti apa rasamu!"

Dari cerita itu nyata sekali bahwa nabi  menganjurkan kita untuk mengungkapkan rasa. Catat ya, mengungkapkan. Bukan untuk pembenaran pacaran. Betapa dewasa ini ada sementara orang yang mencocoklogi dalil untuk membenarkan laku mungkarnya.

Dan satu lagi, mengungkapkan seperti apa?  Apa seperti di film-film yang sudah formal itu?  Kita ketemu sama dia, terus  diiringi lagu galau dan.. dengan sepaket bunga yang diambil dari rumah tetangga kita ungkapkan bla, bla, bla gitu.

Apa seperti itu?

Bagiku sih,  kalau seperti itu sudah jadul. Bahasa kerennya. Coba deh luaskan makna mengungkapkan itu agar memiliki esensi. Tentu saja untuk diri dan sejarah peradaban.

Terdengar muluk kali ya?

Tapi  serius, coba kalau makna "mengungkapkan" itu kita perluas agar tidak selalu kaku. Misalnya nih, kamu lagi ngebet sama seseorang manusia tapi gak punya keberanian mengungkapkan pada yang  bersangkutan.

Ada banyak penyebab, katakanlah uang kamu seret atau ketek kamu bikin bau tidak sedap. Malu dong deketin apalagi mengungkapkan tepat di paras dia. Bisa-bisa kamu dilaporkan pada pihak walinya sebagai pelaku perusakan kewangian dirinya. HIkh, ngeri.

Terus gimana caranya, ya kamu tulis dan curahkan di buku harian kamu atau juga bisa media sosial pun blog harian kamu. Curahan itu bisa berupa cerpen, novel, puisi, atau prosa. Intinya diungkapkan ya. Lewat Stand Up Comedy juga bisa. Pokoknya terserah kamu.

Kamu niatkan ke dia tapi mau dia tahu atau tidak ya gak apa-apa. Motif utama kamu adalah mengungkapkan biar beban di hati mencair. Daripada dipendam, capek tahu. Sesak lagi. Eh, tahu-tahu dipinang orang. Lu kata dia gak laku!

Kalau beginikan lebih produktif dan yang pasti bisa menambah devisa di otak kita.  Mental kita sehat dan gak mudah baper tanpa sebab. Rahasianya sederhana,  kita punya kiat spontan untuk mengelola  rasa dibalik fitnah yang merajalela.

Namun gak apa-apa juga kamu mengungkapkan sama dia kalau tujuannya  serius untuk menuju mahligai rumah tangga, malah bagus itu. Kalau bukan, ya mending jangan. Resikonya terlalau berat.

Kasihan orangtuamu, lihat anaknya terpuruk karena sakit hati. Di saat yang sama kamu tidak sakit melihat orangtuamu kerja keras sehari-hari demi tercukupi harapanmu. Entah sudah berapa kali inginnya hempas gara-gara berbenturan dengan harapanmu. Cobalah, buka dikit nalar sehatmu! (***)

Pandeglang |  25 September  2022

Posting Komentar

0 Komentar