Catatan Kedua Menjemput Mimpi Di Rumah Dunia


Catatan Kedua Menuju Rumah Dunia
___
Perjuangan itu tidak mudah, setidaknya bagi mereka yang ingin mencapai mimpinya. Mimpi yang diujarkan dan diharapkan. Untuk itu, tidak sedikit orang yang memilih menyerah sebelum kalah. Kalah bertumpu pada takdir jadi budak peradaban.

Dan aku, tidak ingin begitu.

Berangkat jam 10.30. Baca doa, minta restu orangtua, dan mempersiapkan kelengkapan belajar. Satu lagi, empat buku pinjaman yang kemarin yang baru 2 kurang sedikit dilahap. Menanti kapan diresensi. 

Di bawah mendung Pandeglang dengan kecepatan 30/km motor merah keluaran 2010 itu mejemput takdirnya. Meskipun ada deg-degan juga, takut-takut nyasar. Kalau nyasarnya ke rumah calon sih bagus ya, kalau ke rumah mantan. waduh, gaswat besty! 


Sambil menghirup udara, sana-sini menyaksikan aktivitas kehidupan. Mereka yang tengah berjuang memupuk mimpi, mencari rizki, ada pula mengeja huruf demi kepentingan perut.

Sebelum jalan Palima, ruas jalan amat amburadul. Mobil besar hilir mudik, pengendara berebut paling cepat. Di pinggirku, dua gadis manis-- mungkin santriwati-- adu cepat. Kadang aku yang duluan, kadang mereka duluan. Dalam hati tersenyum, entah untuk apa dan kenapa. Untuk apa juga sempat aku perhatikan? 


Yang agak deg-degan itu pas dari Boru, agak lupa-lupa jalur, dan benar saja tersasar. Untungnya ada Mamang baso yang baik, jadi aku tanya arahnya. Gak jelas juga menjelaskannya, tapi tenang masih ada orang yang peduli. Kata media, orang sekarang itu banyak individualistik. Tidak semua ya. Buktinya Kepedulian merek adalah lebih mahal dari apa pun.


Butuh satu jam setengah untuk ke tempat Markas Rumah Dunia. Sengaja datang lebih awal, pertama untuk mengembalikan buku dan kedua ingin menikmati aroma komplek Rumah Dunia, yang entah kenapa mengingatkanku pada kampung halaman nenek di Jalupang sana.

Tahu-tahu tengah ada acara walimatul'arus, kaget juga. Untungnya ada Pak Presiden RD yang duluan menyapa, ngopilah di sana sampai adzan dzuhur di Masjid. Aku izin pada Kang Presiden untuk mengijabah adzan.

Ke sanalah jiwa rapuh ini menjemput panggilan cinta dari-Nya. Rasanya jiwa ini haus untuk meminum madu rindu. Semakin menjauh maka dada ini terbakar. Shalat pelipur lara untuk raga yang acapkali jumawa. Kembali tadarru dengan kehinaan. Merayu pada yang Maha Rahman. 

Allahu rabbi!

Sekitar 13.30 WIB bersama dua teman wanita -- entah belum kenal-- yang ditemui di cafe Rumah Dunia, berangkat ke sana. Tidak terlalu jauh ternyata, rutenya lumayan pabelit. Ini yang kemudian membuat saya kelimpungan pas pulang. 

Nyasar!

***

Di kawasan Stadion Maulana Yusuf itulah kami belajar untuk mengecup udara dan aktivitas di sana. Kami belajar untuk peka dengan keadaan. Mewawancarai siapa saja yang kami ingin tahu dan tak boleh ada pemaksaan. Murni demi kepentingan baik.


Sebelum terjun kami diberi jampi-jampi oleh Kang Hilal (Beliau termasuk angkatan kelima, kami 39!) kalau istilah paranormal, kok mistis ya kesannya? Haha.

Gak, bukan jampi tapi kami diberi saran dan masukan untuk mewawancarai. Gimana agar tidak menyinggung. Baiknya melihat siapa yang akan diwawancarai, harus tahu dan pandai menggunakan diksi. Kang Hilal ini jurnalis aktif di salah satu media online, tengah menempuh study S2.

Aku tidak mengalami kesulitan mencari siapa yang harus diwawancarai. Allah Maha Baik, aku menemukan remaja yang tengah berjualan Cilor Bang Putera. Remaja yang manis, agak pemalu, polos, dan baik. Aku kira sudah putus sekolah. Kebanyakan gitu kan, kalau sudah tahu uang gak peduli lagi sama pendidikan.

Sungguh aku menyesalinya, Edi nama remaja itu masih tercatat sebagai murid aktif di salah satu negeri di Serang. Edi hanya jualan sabtu-minggu karena harus belajar. Selebihnya kakaknya, Putera itu yang menjaga. Pemiliknya memang kakaknya. 

"Kalau rame itu malam minggu kak," katanya. 

"Terus sehari suka habis berapa tusuk?" aku bertanya.

"300 tusuk kak. Kalau lagi rame bisa 1.000 tusuk. Aci-nya saja habis 10 kg loh," katanya dengan semangat.

"Gitu ya. Terus kalau ada turnamen apa mempengaruhi pendapatan?"

"Gak juga, kan yang main di dalam dan kita jualan di luar. Malah lebih rame di malam minggu kak."

"Kok bisa ya, apa gara-gara bawa pacar?! Jadi pamer gitu,"

Kami pun tertawa. Terlihat gigi putih lagi mungil itu. Betapa keras kehidupan tidak peduli siapa saja, Edi termasuk potret milenial yang tidak layu oleh peradaban. Bapaknya pemulung (?) dan ibunya IRT, tidak membuatnya menyerah dengan keadaan. 

Tak ada yang istimewa melihat tubuh kurus dengan kulit terbakar matahari itu. tetapi saya tahu di balik itu dia telah dewasa dan coba memperbaiki dunianya. Tidak malu pada temannya dan terpenting tidak manja. Ada prinsip diam-diam dibangunnya.

Saat aku menjelaskan siapa aku dan meminta foto, dia bilang sama si Abang saja. Aku celingak-celinguk, yang mana namanya Putera. Aku pikir sudah umuran, eh ternyata... kisaran 20 tahunan. Sesudah cekrek, aku pamit dan mengucapka terima kasih.

Sebenarnya aku pamit karena memang ada dua sejoli yang tengah beli. Aku kok risi ya, belinya goceng terus ngobrolnya tidak kenal waktu. Keasyikan ngobrol mungkin efek rimbunya pohon besar di sana memayungi dari sengatan mentari. Yang agak gatal di mata adalah bagaimana jalan becek, berlubang dan sampah terlihat.

Hari minggu cukup ramai, aku lihat ada yang tengah memadu kasih tanpa peduli orang sekitar. Ada pula yang melatih hobinya, ada pula yang menikmati kebersamaan dengan keluarga. Sedangkan aku, ya sendiri melihat kesibukan mereka.

Dia terlalu jauh nun di sana untuk kugapai, entahlah masih terasakah rasa yang kemarin itu? Ya kamu, diam-diam tersenyum tanpa aku tahu.

Beres waawancara aku temui Kang Hilal dan Kang Naufal. Kang Hilal nanya-nanya: siapa yang aku temui, nanya apa dan apa rencana setelah sumber berita di dapat. Seharusnya sih langsung dibuat berita ya, cuma aku lebih suka feature atau artikel. Akan tetapi sebagai anggota aku tahu diri. 

Sore tadi diiringi mendung aku pulang ke Pandeglang, menggondol ilmu dan menjemput masa depan. Lembayung tersenyum di sana, entah menertawakan aku yang nyasar karena polos dengan kota sendiri. Atau dia tersenyum menertawakan siapa saja yang tidak mau berjuang.

Sepanjang jalan pulang aku menyadari bahwa aku bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Tak ada yang mengenalku pun bisa saja tidak mau kenal, untuk apa. Tapi aku dibuat takjub bahwa saat aku tersasar ada hati-hati malaikat berwujud manusia yang dengan rendah hati memberi aku petunjuk. Kepedulian mereka cukup sudah menyentuh jiwa kotorku. Perjalanan ini sungguh berarti.

Saat antri di pom bensin dekat perbatasan Pandeglang-Serang, hapeku menjerit. Ada satu nama di sana, ya dia yang entah kenapa membuatku tersenyum. Tersenyum seperti senja yang ingin memeluk hari agar gelap. Sesudah habis satu lembaran terbuka lembaran lain.

Semangat berjuang teman-teman. Dari Pandeglang aku melaporkan, suasana malam masih sunyi, sesunyi mereka yang tidak paham, untuk apa dicipta Rabb di muka bumi ini? Salam Hangat, Mahyu An-Nafi. Wallahu'alam.(**)

Pandeglang, 26/2/23   21.55

Posting Komentar

0 Komentar