Aku dan Dia, Gadis Madura!


Aku dan Dia, Gadis Madura!
___
Dia gadis manis  dari pulau kecil sana, Madura. Pesona pulau yang banyak melahirkan Ulama kawakan juga ilmuan. Dia remaja biasa, yang punya cita. Mimpi. Kenangan. Hati. Perasaan. Tengah fokus menghafal kalam suci di antara jutaan ummat di muka bumi.

"Kalau ada kitab yang paling banyak dihafal sepanjang abad," kata Maria di novel Ayat-Ayat Suci, "maka itulah Al-Quran." Kepada Fahri. Fahri dibuat kagum dengan pemahaman gadis koptik itu.

Dan aku, dibuat kagum pula oleh gadis manis itu. Hanya saja, dia tak mau tahu dan hendaknya tidak usah tahu. Cukup waktu saja tahu bahwa aku punya hati, punya pikiran dan punya cita-cita untuk terus semangat menjemput rahmat-Nya yang amat mempesona.

Kami didekatkan oleh grup WhatsApp. Satu frekuensi dalam kecintaan membudayakan membaca kalam Ilahi. Lebih satu tahun aku di sana tapi baru satu bulan ini mengenal dia. Dia yang ingin disebut adek, dede atau adik katanya.

"Panggil aku adik aja kak," dia berkata, "nanti aku panggil ya kakak." Risi juga sebenarnya. Setahuku, kalau sudah arahnya ke sana, ada beban terdengar.

Pembaca berpikir mungkin sama denganku, bahwa ada hubungan spesial dengan panggilan tersebut. Aslinya biasa saja. Justeru dia marah kalau panggilan itu diarahkan ke hubungan spesial. Tak usah ditafsirkan apa-apa katanya. 


Dia marah, mencle-mencle aja. Lah, aku bingung, kamu kenapa dek? Haha.

Kamu lupa dek aku laki-laki normal dan sudah dewasa pula, rasanya aneh kalau tida memilki getaran aneh. Sungguh pun begitu, aku dibuat heran sekaligus takjub pula, ada ya manusia begini di abada ini?

Secara tulus aku pun dibuat khawatir, di pola pikir yang amat polos harus berkecimpung di peradaban media yang serba praktis lagi hedonisme, banyak orang dibuat gila dan kehilangan akal sehat. Tak jarang sosial media jadi candu atau bahkan racun dari keutuhan keluarga.

Aku sungguh khawatir. Melihatnya seperti melihat adik kandungku, yang polos, manis, imut dan lucu. Aku ingin memeluknya dengan erat, ya dalam arti maknawi pastinya. 

Aku melihatnya, tengah menangisi kerinduan pada almarhum ibunya yang baik, iri pada mereka yang dapat kasih sayang tulus dari ayah-ibunya, dia yang belum tahu ruang sosial seperti hewan buas yang kapan saja bisa menerkamnya kalau tidak hati-hati. Apalagi soal hati. Soal laki-laki. Dua hati

Dia nampaknya tidak berpikir sejauh itu dan memang tidak usah, biarkan dia tumbuh dengan semangat juga kepolosannya. Biarkan dia membangun mimpinya. Menghiasi harinya dengan kesucian. Menapaki langkah dengan apa yang dia tahu.

"Aku rindu Ibu kak," katanya berurai air mata.

 Ya, ibu. Sosok yang amat dia rindukan namun Allah punya rencana terhadap hidupnya. Itu yang aku katakan. Dia tetap merengek, menangis, bermuram durja dalam kepedihan. Hati ini, terasa cakar-cakar. Pedih, sakit, dan sesak dada ini. Apa kamu tahu ini, Dik?

Betapa beruntungnya aku yang memiliki ibu-bapak yang tulus mencintai, menasehati dan tidak betah anaknya kenapa-kenapa, ya dia ibuku yang amat perhatian. Sampai teman-teman dulu menyebutku, anak mamah!
 
Dari dia aku belajar arti kerinduan. Belajar arti syukur. Belajar membangun mimpi dari kepedihan. Ya dia wanita hebat, sedini itu belajar bersahabat dengan rasa sakit, 

Namun aku bersyukur, dia besar di lingkungan yang memahaminya dan memberi ruang untuknya berkembang. Meskipun tidak sempurna, lihatlah dia tersenyum melihat harinya. Terjaga untuk siap berjuang dan berlatih mewarnai dunia.

Aku masih di sini, menatap dunia dengan perubahan-perubahan. Aku di sini, masih bukan siapa-siapa. Belum memberi sekuntum kebahagiaan untuk ibu bapak. Belum pula mampu menghadirkan segepok uang. Selembar kertas untuk niat suci ke tanah suci.

Belum. Aku masih petualang yang masih suka menggoeres di alam maya. Menghibur mereka yang gelap oleh gemerlap. Coba menghidupka obor putih kehendak kakek. 

Modalku percaya, yakin, dan khusnu'dzon pada-Nya. Itu saja. (***)

Pandeglang, 25/2/23   13.47  

Posting Komentar

0 Komentar