Melihat PII Sekarang: Perlu Nama Besar atau Gerak Besar?


Melihat PII Sekarang: Perlu Nama Besar atau Gerak Besar?
____
Tadi malam saya berdiskusi hangat dengan adik saya yang masih aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia) sampai waktu menunjukkan satu dini hari. Kami membicarakan PII Pandeglang mau ke mana dan sudah sejauh mana melangkah dalam sektor kecil di bumi santri ini.

Seperti kebanyakan aktivis muda yang saya temui, mereka bingung melangkah dan malas dari para pendahulunya mengasuh juga memompa mereka. Mereka yang muda rata-rata "dibiarkan" bergerak sendiri tanpa ada yang mau ikut terjun ke lapangan.

Padahal lapangan perjuangan itu luas, penuh duri, dan banyak kerikil tajam; di saat yang sama mereka kurang bekal dengan emosi yang labil. Gampang marah, mengeluh, dan ingin selalu besar dengan usahanya.


Ketika saya bilang, "PII jalan tempat" "terlalu bangga dengan kebesarannya" "fokus ke kader baru bukan kader militan yang kualitasnya bagus", adik saya itu uring-uringan. Dia sampaikan kebesaran PII dan tafsir asasinya seperti apa. PII ingin berkarya-- daya cipta dengan tangannya sendiri baru mau bermitra. Untuk apa bermitra kalau demi proposal belaka lantas jadi jongos. Kita ingin besar maka kita merencanakan, memuat terus pula memikirkan.

"Oke kita masuk ke poin masalah," kata saya, "PII ingin besar dan jaya seperti dulu. Tetapi persoalannya adalah sudah sejauh mana bergerak. Kenapa fokus "ingin besarnya" bukan "ingin bergeraknya". Dengan bergerak kemungkinan besar amat jelas, tetapi apa yang diharap "kata-kata besar" dan "nama besar" tanpa gerakan nyata?"
Dia nampak mengangguk, "tapi kak, kenapa harus bermitra. Bukankah dengan bermitra membuat tumpul? Apa lebih baik dengan bergerak sendiri dan itu buat nyaman," katanya agak kritis.

"Pertanyaan bagus, mari kita urai sama-sama. PII dibanding NU terus Muhamadiyah dan lainnya di Pandeglang banyakan mana masanya? Katakan PII akan membuat acara Mabit di Masjid Agung, akan lebih banyak mana antara bersatu atau tidak. Sedangkan acara sedikitnya kita butuh: dana, panitia aktif, dan pengisi acara yang menarik lagi punya masa. Silakan jawab, sudahkah PII punya itu di sini?"

"Ya, belum masih. Tapi itu apa bukan artinya kita belum punya daya cipta--karya? Sedangkan di tafsir asasi jelas dikatakan PII boleh bermitra dengan siapa saja kalau punya karya baru boleh dengan Pemerintah," paparnya. 

"Bahkan nih kami punya rencana akan bermitra dengan MUI yang punya program Jihad Digital. Kami menyayangkan kenapa PII pusat dan Wilayah tidak masuk ke situ malah main dengan "kepentingan politik praktis" yang semu. Anak-anak PII bisa kayaknya."

"Terus kenapa belum dilakukan? Kita persempit hanya PII Pandeglang saja kalau lainnya biar mikir sendiri."

"Kami kekurangan anggota dan masih ragu."

"Itulah salahnya. Mau sampai kapan menunggu momen? Nunggu besar dulu baru gerak. Kata siapa bermitra untuk satu program lantas berhasil bukan karya? PII itu harus dinamis mengambil kesempatan, jangan mundur maju. Gerak saja walau ada satu atau dua orang syaratnya mitra. Kita umpamakan PII mobil yang tengah mogok gimana agar kembali hidup lagi?"

"Ya gerak."

"Itu jawabannya, gerak sekarang atau tidak sama sekali."

"Iya juga ya."

"Jangan nunggu momen dan anggota banyak, toh itu bukan jaminan. Kita butuh gerak, PII butuh gerak dan semua makhuk disebut hidup karena geraknya bukan nama besar pendahulunya. Lakukan sekecil apapun. Konsisten. Siap terima resiko. Ikhlas. Ujungnya tawakal."

Karena malam semakin pekat dan udara makin sunyi kami sudahi pembicaraan dengan optimisme dan harap. Kami tak peduli dengan nasib. Kami hanya ikhtiar dan melangkah. Biarlah masa nanti mencatat dan memotret mimpi dan asa kami untuk agama, bangsa dan kemanusiaan. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang,  9 Februari 2023   11.39

Posting Komentar

0 Komentar