Pemuda dan Salah Kaprah Pesimisme dengan Kematian


Pemuda dan Salah Kaprah Pesimime dengan Kematian
___
Ada banyak pesan di ayat suci yang menerangkan terkait kematian. Rasanya kita sudah hafal. Hanya saja banyak dari kita yang kurang tertarik melihat dan membicarakan sisi lain kematian seolah itu mutlak. Padahal al-Qur'an sendiri mengajak kita untuk mentadaburi kedalaman maknanya.

Misalnya dengan potongan ayat yang terjemahnya "tatkala datang ajal kepada sekalian kamu maka tidak bisa kamu menunda dan mempercepat walau sesaat apapun", kita menyimpulkan ya itulah akhir. Mati sudah jelas, makanya harus waspada.  

Kita jarang mendiskusikan karena takut meng-elaborasi isinya, apalagi menghubungkan dengan konteks sosial-- dunia pemuda dalam hal ini. Apa pula hubungannya. Justeru kalau kita sambungkan dengan konteks sekarang adalah bisa memompa kaum pemuda.

Lah, kok bisa? Gimana caranya?  Agak aneh dan cukup tabu pula?

Sebelum kita membicarakan jauh ke sana, penulis sampaikan dua hal dulu. Pertama, ini sifatnya analisa dan tidak baku. Kedua, ini bahan diskusi untuk sama-sama kita perdalam.

Baik kita masuk ke persoalan. Adalah bukan tanpa sebab penulis berbicara. Selama ini kita seringkali menyimpulkan proses kematian itu menakutkan lagi mencemaskan sehingga pemuda sebagai pionir sentral peradaban skeptis duluan. Kita percaya di tanganya estafet dipegang juga dilanjutkan. Saat para sepuh kembali ke hariban-Nya ada generasi pelanjut.

Tetapi namanya kematian itu pasti tidak kenal usia dan tempat. Bayi mati, anak kecil meninggal, remaja dan pemuda pupus dan kaum tua wafat. Kepastian ini sudah jelas maka tak jarang ada pula yang baru lahir meninggal, ada pula meninggal di kandungan sebelum melihat mayapada.

Kalau sudah begini seharusnya bukan kematian itu sendiri kita persoalkan,  sebab itu perkara pasti. Untuk itu, alangkah bijak kita memikirkan bekal apa yang dapat kita bawa untuk kembali ke alam abadi ini. Tegasnya amal shalih yang benar lagi ikhlas.  Kita tak ingin menyesali nantinya.

Dalam kasus pemuda di atas, kita mengajak para pemuda untuk aktif lagi memompa produktifitas, mengelola kemampuannya. Batas hidup ini samar tapi nyata. Kalau bukan orang lain ya kita. Tak boleh loyo tapi harus pula positif. Meletakkannya di mana dan gimana caranya. Urusan mengingat mati bukan hanya "kaum tua" lantas "kaum muda" boleh seenak udel melakukan yang dia mau.

Masa muda bukan saatnya untuk hura-hura atau bahkan melakukan sikap yang tak terpuji. Orang bilang "suka-sukalah melakukan apa saja di masa muda" gak peduli komentar netijen, sing penting kita happy. Justeru masa muda patut dipikirkan agar berkontribusi untuk agama dan sesuai kemampuan dan kapasitasnya. Apa pula bangga bermaksiat terus kalau nanti saat mati, apa yang kamu banggakan?

Steve Job menjadikan kematian semangat untuk dirinya lebih produktif. Kita kenal kejayaannya dengan Apple yang mendunia. Dia menyadari hidup di dunia ada batasnya maka batas itu (baca: mati) harus memacu diri. Kematian itu aset sekaligus semangat untuk para pemuda. Untuk terpanggil membenahi problem sosial.

Kita ajarkan para pendahulu berjuang tidak kenal mati untuk kemerdekaan, kita pun lihat sosok Nabi dan Sahabat yang ikhlas berjuang-- berperang tidak sekalipun mati jadi momok mengerikan, pun mereka yang mewarnai dunia dengan cinta untuk melawan laku dzolim, lihat mereka memandang mati saudaranya.

Hari ini, wahai yang muda lagi perkasa, semangat apa yang kamu ambil dari kematian yang tiap saat menantimu, bahkan sampai riwayat menyebut 70 kali Izrail menyambangi kita. Tidakkah kita terjaga lantas melihat sisa umur kita dengan optimis agar ajal hadir kita tengah berikhtiar serta mengingat Allah di segala keadaan, bukan saat hanyut di kubangan dosa.

Hidup ini pilihan, silakan saudara memilih akhir seperti apa yang diharapkan. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang,  9 Februari 2023   9.41

Posting Komentar

0 Komentar