Aku Bangga (Anti) Pacaran!



Aku ingat, di masa-masa dulu ingin sekali ditemani satu rasa yang bisa menerbangkan anganku. Film my heart, masa itu, berefek sekali dengan jiwaku. Mungkin benar kata orang bijak, apa yang aku tonton dan baca bisa mempengaruhi kepribadianmu.

Masalahnya, aku tidak seganteng Farel pun tidak setajir dia. Aku adalah bocah biasa yang besar di desa, pemalu dan terlalu pesimis dengan diriku. Aku cemas dengan inginku, di saat yang sama ambisius dengan harapku.

Hingga di suatu kesadaran, aku bertemu teman. Dia tidak jauh dengan sosok Farel di my heart itu. Dengannya aku belajar banyak hal. Tepatnya sih, menghafalkan jurus-jurus melumpuhkan lawan jenis. Bagaimana mereka nyaman, kita santai, dan mampu melihat lebih jujur pada jiwa kita.

Dari sana aku mulai bergerilya, apalagi aku ingat ucapan guruku, "gunakan rasa cintamu untuk membuatmu lebih termotivasi berkarya dan berprestasi," katanya di suatu kelas.

Kalimat itu melekat. Apalagi saat itu, kartu Excel lagi gila-gila promosi. Hape jadul tengah diburu-buru. Bertemulah dengan nama-nama. Nama yang kemudian aku tersenyum dibuatnya. Nama yang menghadirkan getar. Entah itu suka, cinta, kagum atau justeru kegilaan semata!

Tetapi terjaring satu nama. Singkatnya kami pacaran. Yaps, pacaran. Seru juga dan menyenangkan. Betapa hari tiada sepi, ada yang peduli lagi memperhatikan. Ada yang mau mendengarkan keluh di jiwa. Ada yang mau jujur menemani. Aku merasa menjadi raja di jiwaku.

Setidaknya, itu dirasa satu minggu dan bulan-bulan awal. Setelah itu, obrolan tidak seru. Kebersamaan terasa hampa. Merasa terpenjara. Tidak sebebas saat sendirian. Ada harga yang harus terjual. Terutama soal jiwa yang rapuh, baper dan cengeng.

Omong kosong dengan cita-cita dan prestasi. Saat kamu terpenjara oleh virus merah ati kamu tidak merasa kamu itu kamu yang dulu. Kamu hidup dengan diri yang baru, mimpi baru, dan hal-hal yang tidak kamu sadari. Kamu merasa seperti diri orang lain. Terlebih, dia selalu mengharapkan kamu selalu sempurna. Dia tidak mau melihat kamu yang apa adanya!

Di krisis kegalauan itu, aku memutuskan hubungan apapun. Aku menyendiri dengan kecemasanku, ketakutanku, dan harapku. Aku merasa di satu kondisi yang semua serba abu-abu. Bertemulah aku dengan "buku Habiburrahman El shirazy" dan akupun hanyut di dunia pemikiran Islam. Aku hafal sepak terjangnya.

Di fase ini aku berpikir, untuk apa pacaran kalau kamu tidak mampu menghalalkannya?

Bergelut aku di dunia pemikiran Islam. Akupun aktif membagikan konten dakwah. Menyampaikan sedikit ilmu yang pahami. Pangsa pasar terbesar adalah remaja--- remaja puteri.

Kenapa remaja puteri? Selain mereka antusias, mereka juga aktif. Seru juga. Secara sporadis aku dikenal sebagai duta anti pacaran. Yaps, terdengar konyol memang. Teman-teman lebih nyaman berdialog denganku, karena aku lebih jujur dengan masa laluku. Mereka lebih puntya referensi. Masa-masa itu, aku sibuk. Sibuk memberi juga belajar banyak hal dari aktivis dakwah media. Tidak sehoror yang aku kira, saat tidak pacaran!

Semakin tinggi pohon maka semakin kencang angin berhembus. Kalau dulu, angin hanya menggoyangkan maka sekarang sampai ingin merobohkan. Begitulah, aku nyaman dengan kesendirian. Aku senang dengan apa yang aku lakukan. Hape-ku sunyi dari getar-getar kasih.

Hingga suatu siang, ada notifikasi masuk ke akun Facebook-ku,

[ Ini sama Kang mahyu kan?] katanya memastikan.

[ Iya,  benar.]

[ Boleh aku minta saran kang, terkait apa yang aku alami.] 

[ Iya, silahkan.]

Itulah awal di mana semua bersemi. Dia bercerita tentang dirinya. Apa yang dia alami. Walaupun aku sempat bertanya, kenapa curhat denganku. Aku orang baru dan belum jua dia kenal. Kami sama-sama belum tahu. Aku sarankan untuk menghubungimu murabbi-ku. Aku rasa, dia lebih paham dan bijak.

Wanita itu tidak mau. Ya, dia wanita. Demi nama baik aku tidak akan menyebutkan di sini. Demi persahabatan kami. Apa yang kamu tahu tentang dua jenis manusia sudah dewasa, sering kontekan, dan sudah-sudah sama-sama nyaman?

Demikianlah kami, pacaran. Cuma kami beri embel-embel Islami. Pacaran islami. Geli memang mengatakannya. Seriusan itu alami. Aku rasa, teman-temanku pun banyak menjalani apa yang aku jalani. Hanya saja, siapa yang mudah jujur dengan diri sendiri? Kita mudah menasehati orang lain, biasanya sulit untuk menasehati diri sendiri.

Allah maha tahu. 

Di media aku fasih mengutif dalil agama. Akupun jadi tumpuan mereka yang ingin hijrah. Siapa nyana, di dasar hati ada kebohongan yang aku sembunyikan. Semua bergulir begitu cepat, hingga  hubungan kami membuat diri seperti terjun di ujung jurang; antara lelah pacaran dan tak mampu menikah.

"Kita harus gimana," katanya.

"Heem," ujarku resah. Aku paham ke mana arah pembicaraan ini. Selalu begini.

"Aku, tidak ingin kehilanganmu. Bersamamu adalah harapku.  Denganmu aku yakin, samudra rindu ini akan berakhir dengan suka cita. Tapi..." mengela nafas berat.

"Tapi apa?"

"Tapi, kamu belum mampu. Aku wanita dan orangtuaku meminta aku agar berumah tangga. Alasan apalagi yang bisa mengundur takdir? Teman-temanku sudah pada married adapula yang sudah punya momongan. Di fase ini, aku bingung; haruskah terus menunggu?"

Dadaku terasa sesak. Jiwaku terasa teraduk. Dunia begitu tidak adil. Kenapa ada miskin dan kaya, kenapa pula ada "syarat punya"  untuk nikah. Aku memahami inginnya dan aku sadar-- amat sadar dengan kondisiku. Menikah dia sekarang bukan solusi. Ada banyak mimpi, ada tagihan dan yang terpenting restu yang belum aku gondol dari ibuku.

Apa aku harus kawin lari? Sungguh, aku ingin kembali pada posisi di mana rasa ini belum jadi apa-apa. Percuma saja, semua sudah terjadi. Nasi sudah jadi bubur. Bubur pun telah terjual. Alangkah baiknya, menyadari kenyataan ini. 

"Kalaulah begini adanya," kataku, "menikahlah dengan dia yang membuatmu percaya dan orangtuamu merestui. Biarlah di antara kita jadi kenangan. Buku sudah terutup maka bukalah lembaran baru. Klise memang, ya sudah. Jalani hidup kita masing-masing."

"Beginilah kalau dosa menjadi awal petaka. Semua gimana awal, siapa yang memilih awal itu ridha Allah maka Allah menuntun kita pada ridha-Nya pula," katamu di awal musim penghujan. Setahun yang lalu.

***
Sampai saat ini, tidak mudah melupakan. Kalau satu hati sudah menancap di dasar jiwa mana mungkin memberi jalan pada jiwa-jiwa lain yang ingin singgah. Tidak semudah itu. Setidaknya untuk aku, entah kamu?

Mari kita belajar, belajar untuk memperbaiki diri. Melaksanakan apa yang Allah perintahkan dan berusaha keras untuk menjauhi larangannya. Semampu kita. Jangan bermain dengan hati, sekalinya merasuk ke jiwa maka tak akan menyisakan sejumlah pertimbangan untuk kamu keluar lagi.
Semoga apa yang aku tulisakan bermanfaat untukku dan kamu yang ingin membacanya. Wallahu'alam. (***)

Pandeglang, 22 Maret 2023    11.42

Mahyu An-Nafi

Posting Komentar

0 Komentar