Catatan Ketiga Ke Rumah Dunia: Semangat Tambah Umur!


Catatan Ketiga Pertemuan di Rumah Dunia: Semangat Tambah Usia!
___
Setiap pemenang adalah penggerak. Gerak dari rasa nyaman. Mau melangkah, meng-upgrade semua pikiran yang membuat dirinya merasa kalah di kehidupan.

Saat mentari masih malu-malu mengintip, saat sudah terjaga untuk menjemput mimpi. Meski badan terasa lemas sesusai menjemput panggilan cinta di Masjid. Sesuai shalat, mata terasa berat, mulut merasa melebar dan tak ada cara terkecuali, tidur lagi!


Meski demikian, saya sadar di jam 6.30 harus siap berangkat ke Hegar Alam, Rumah Dunia. Mudah-mudahan bisa ketemu Mas Gong, batin saya. Tubuh yang ingin rebahan pun bangun, jangan cengeng!

Perjalanan pagi tadi tak terlalu sulit, sekitar 45 menit sampai ke Rumah Dunia. Meskipun diguyur hujan beberapa menit lagi datang. Padahal di Palima, Wilayah Boru apalagi Pandeglang mentari masih garang menyorot maya pada.

Nah di sini, langit menangis seumpama gadis manis meringis menahan sakit terluka oleh janji-janji manis. Sempat terpikir juga, jangan-jangan nanti acaranya? Ya, acaranya kenapa? Lancar maksudnya. Ha-ha-ha. Jangan membuat cemas.

Ketika Si Merah mulus terparkir, di sanalah terlihat puluhan peserta berkumpul. Dekorasi sederhana tapi menarik. Panggung apa adanya. Sedikit Panitia, yang entah mana panitia mana peserta, mana pengunjung juga amat kentara. 

Baca Juga: 

Kaki ini pun menuntun ke Cafe. Di sana sudah Kang Gio, satu angkatan KMRD 38. Ada satu lagi wanita, saya belum tahu. Di sanalah kemudian saya bersemedi, melihat kesibukan dan hanyut oleh deras hujan. Entah kenapa hujan pagi, di hari minggu ini membuka pikiran buntu selama ini.

Sungguh, amat banyak keluarga besar Rumah Dunia yang hadir. Sayangnya, saya hanya tahu beberapa saja. Bahkan, sama Bu Tias pun belum tahu. Saya hanya bertanya-tanya dan malu bertanya, siapa gerangan beliau? Saya tahu beliau pendiri RD, tapi entah yang mana.

Setelah tahu, saya malu sendiri. Ternyata, selain pendiri beliau juga isteri Pak Gong. Wajah beliau mengingatkan saya pada Bunda Asma Nadia. Di sana terlihat kesederhanaan, ketulusan, keberanian dan keyakinan. Ternyata, besar tidak selalu "harus merasa besar".

"Pak Gong, apakah ada," tanya saya basa-basi ke Kang Miftah, kalau gak salah.

"Ada," jawabnya dengan semangat. Bawaannya memang selalu semangat, secara tidak langsung menular ke siapa yang diajak bicara.

Benar saja, Pak Gong hadir ke tengah acara. Senang sekaligus kejutan juga, tinggi besar jua beliau. Saat saya ajak salam, serta-merta melihat saya asing. Ya beliau berkata, baru ini melihat saya.


Ya memang baru ini saya melihat beliau. Ramah orangnya. Apa adanya. Ada banyak yang ingin saya tanyakan dan curahkan, tapi sadar saya orangg baru. Rasanya tidak sopan cuap-cuap berlebihan.

Masa saya harus bilang, sudah lama tahu bapak dan membaca karya bapak. Sudah pula banyak yang menyarankan saya gabung ke RD setelah sempat aktif di grup kepenulisan yang diasuh Bunda Asma dan Pak Isa di Facebook.


Di antara tatapan asing saya pun merasa asing pula, tapi saya percaya Rumah Dunia mempersatukan kami. Ketika saya tidak kenal dan tidak tahu siapa yang hadir, mungkin kurang sopan tidak menyapa, mau gimana, namanya anggota baru. Ngapain rute pulang aja masih pusing apalagi nama-nama. Ha-ha-ha.

Sebenarnya saat Pak Gong berbincang-bincang dengan alumni KMRD, saya nyaman ikutan. Seru mengulik pemikiran Saut Situmorang, Fatin Hamama, dan Deni JA. Bagaimana kritik pedas kepada Pak Gong diarahkan Situ? Tudingaan-tudingan terkait puisi esai? Sejujurnya saya ingin ikutan, bertanya tentang Puthut EA? Tabiat sastrawan dan seabrek tanya lain.

Lagi-lagi saya sadar, saya panitia dan orang baru ingin belajar. Oleh Kang Naufal saya diberi tugas untuk membagi kertas, pulpen dan menemani koordinator lomba menulis Karangan. Saya belajar membumi, belajar mengecup keramaian, lebih dekat sama-sama menjadi bagian rumah dunia. Sadar atau tidak, sakarang bagian dari Rumah Dunia!

Seru saat berbincang dengan sesama panitia tentang tokoh sejarah. Ternyata baru saja lulus dari UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Jurusan Sejarah. Saya tanya dong buku sejarah yang populer, api sejarah. Siapa nyana, ternyata buku itu jadi sorotan terkait datanya. Satu lagi, kurang obyektif.


Cukup jelas kami membicarakan diselingi tawa juga canda. Saya tahu ada yang baru lulus kuliah, ada yang mau skripsi, ada pula tengah magang, ada mungkin yang cari perhatian pula. Pokoknya komplit. Rugi bagi yang gak hadir! 

Saya pun kembali meminjam dua buku: Dunia Shofie juga Pak Beye dan Politiknya. Ada yang tahu atau mungkin pernah baca?

Sebenarnya ada satu lagi yang ingin saya baca, autobiografi Pak Harto. Tapi Pak Gong ingin baca, katanya buku lama itu. Yo wis. Sebelumnya Kang Salam sedikit menyampaikan terkait buku itu, subyektif dan positif semua. Kurang seru. Sebenarnya dari judulnya saja kita tahu, sebagai pelajar kalau ingin obyektif kita pun harus bisa membaca dari dua arus nanti kita akan tahu plus-minusnya.

Terkejut pula dengan antusiasme warga sekitar. Ibu-ibu menulis karangan. Anak-anak membaca puisi. Fashion show. Entah kenapa mimpi itu hadir, saya pun kelak ingin punya TBM!

Hadir di sini merasa hidup. Berbagi senyuman. Mencerdaskan. Pak Gong dan Ibu Tias sukses membumikan semangat literasi. Dari relawan lain pun saya tahu, anak-anak Pak Gong ada yang tengah study di China, Dubai, Bandung dan Yogyakarta.

"Beliau mah, memang keluarga penulis," kata rekan itu.

Ada banyak yang ingin saya ceritakan, sampai saat ini dada saya masih berdebar. Bukan tengah merindukan seraut wajah imut lagi manis di sana, bukan itu. Sebuah pesan tentang rasa, mimpi, asa, dan masa cerah nanti. 

"Menurut penelitian, manusia tidak akan mati seminggu tidak makan," Kata Sujiwo Tedjo, "tapi, ia mati satu menit tanpa harapan."

Singkat dan sederhana memang tapi bagi yang paham akan tahu sedalam apa kalimat itu. Banyak orang berlomba-lomba mencari rizki untuk kebutuhan perut, ya hanya perut. Lupa mana moral dan mana nilai. Tersesatlah dalam keterpurukan.

"Kalau hidup untuk makan, maka babi di hutan pun bisa hidup." Kata Buya Hamka di Filsafat Hidup.

Seperti cukup segini, besok saya ingin menulis tentang Pak Gong. Pertemuan tadi bagi saya berkesan. Juga Ibu Tias. Semoga bisa dan Allah mudahkan. Saya ingin belajar banyak hal dari mereka, agar kelak saat Sang Masa menyapa tidak repot lagi bertanya-tanya.

Demikian sahabat semua, kita cukupkan laporan ini. Dada saya masih sesak. Rindu tertahan memang berat. Mungkin benar kata Dilan, "Jangan rindu! Rindu itu berat. Cukup aku saja, kamu gak akan kuat," ujarnya pada Milea.

Dan malam ini, rindu itu sudahkah teman-teman ungkapkan? Semangat malam. Wallahu'alam. (**)

Pandeglang, 5 Maret 2023    23.33

Mahyu An-Nafi 


Posting Komentar

0 Komentar