Puasa Ke-enam


Barangkali namanya hidup akan terasa karena kita tidak mau menyerah. Menyerah dengan kenyataan. Tidak semua orang bernasib manis seperti cerita-- drama korea. Ada di mana kamu hanya melihatnya dan tak mampu berkomentar. Hidupku tidak sekeren itu.

Itulah hidup. Banyak kita ingin menyerah. Potong kompas. Lari dari kenyataan. Tetapi lupa, lari bukan solusi untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut. 

Kita memang bukan orang hebat. Begitu kuat menerjang ombak. Begitu lentur merobek kepahitan. Kita adalah kita, seseorang yang ingin ceria apapun masalah yang menghadapi.

Muslim yang rugi  itu mereka yang memilih terperosok di lubang yang sama. Begitu pesan nabi 14 abad yang lalu. Sebuah pesan yang harus membuat kita merenung. Sudahkah selama ini kita menyadari terperosok di satu jurang dan seharusnya bangkit, untuk bangun melihat kenyataan? Atau sebaliknya, lebih memilih pasrah akan kenyataan.

Sesuai pengalaman, kalau resah dengan kenyataan aku sering berkaca pada  mereka orang-orang besar. Atau aku merenungkan sosok rekaan tokoh Fahri di AAC yang sama sekali pantang mundur menghadapi ujian tidak mudah. Bagaimana tidak, miskin, di rantau orang dan bergelut dengan kebutuhan-- di mana pasrah maka akan mati teergeletak di peradaban zaman.

Fahri saja bisa, kenapa aku tidak bisa?

Memang Fahri itu hanya rekaan yang entah, dan aku yakin pembaca setuju pula bahwa penulisnya tidak asal menciptakan tokoh Fahri. Ada pertimbangan matang. Atau mungkin saja Fahri itu memang citra sejatinya penulis. Sebuah tulisan itu memiliki ruh dan ciri khas, itu di dapat dari siapa yang penulis.

Apa jangan-jangan Fahri itu diri Kang Abik sendiri? Kita bisa menerka dan itu pula yang banyak diraba para kritikus. Menurutku sih, ya memang ada kemiripan meskipun tidak seutuhnya. Wajar dong, menulis itu proses menuangkan gagasan. Aneh, kalau gagasan itu bukan hasil olahan penulisnya.

Di puasa ke enam ini aku disusuguhi pertanyaan, apa atau bentuk  gimana sih hubungan kalian? 

Aku hanya nyengir. Menohok sekali. Aku bingung harus menjawab, kujawab dengan apa adanya 'untuk saat ini aku belum bisa menjanjikan apa-apa, begitulah.

Sengaja mengagantung. Karena sampai saat ini aku belum melihat akan ke mana layar ini akan aku buka lantas berlayar ke samudra mana. Aku masih mencari. Terus mencari sampai pada akhirnya yakin. Bekalku sudah cukup. Usiaku sudah matang.

Saat ini, mohon maaf. Aku harus berjuang. Selangkah lebih keras lagi. (**)

Pandeglang,  28/3/23   18.08

Posting Komentar

0 Komentar