Apa yang harus dipertaruhkan: Dagang atau Karir Menulis

Sudah sepuluh tahun lebih aku berjualan di Pasar. Berdagang kopi "Cap Jempol" meneruskan jejak bapakku. Usaha keluarga ini terpaksa harus aku pikul. Mau tidak mau, ya harus dijalani.

Tadinya aku keberatan, ya sekarang pun kadang ada saja rasa itu. Cukup berat. Padaha cuma duduk saja. Mungkin berat bukan secara fisik, lebih kepada kepuasaan batin. Terutama pandangan mereka yang meremehkan. 

Aku suka nulis. Aku suka baca. Namun lingkungan belum mendukungku. Lingkungan masih asing. Setidaknya itu dulu, sekarang sudah mulai berubah. Dari rasa suka itu aku ingin berdaya seperti mereka menjalani apa yang mereka sukai.

Aku yakin dengan mimpiku. Aku percaya akan kemungkinan posistif. Akan tetapi, aku seorang anak yang tidak mau durhaka. Aku manut, terus belajar akan keadaanku. Menerima dan terus bersabar. Meski kadang aku jenuh sambil menggerutu: "Siapa yang tahu inginku?"

Hari terus berganti. Usia terus bertambah. Keadaanku tetap begini; terus menerima. Mungkin seperti inilah suara hati R.A Kartini. Dia ingin merdeka tapi tembok rumah dan restu belum jua terbuka? Pantaslah negara memberi gelar pahlawan padanya. Kamu akan tersentuh kalau membaca kumpulan suratnya di buku "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Berdagang pun gak sedih-sedih amat sih. Di Pasar kita bisa belajar dengan corak sikap orang. Kita meihat ragam pemikiran mereka. Kita menyatu dengan banyak kalangan. Jangan lupa, bahasa resmi negara itu bahasa melayu pasaran. Dari pasar peradaban banyak tumbuh.

Sekarang aku tengah belajar menajamkan penaku. Belajar untuk peka. Lebih mengenal diriku dan kemampuanku apa. Semua harapan seperti terbuka. Aku ingin melebarkan sayapku, tapi aku sungkan menggores luka di hati ibuku!

Kita hanya bisa berencana, yang memastikan tetap Allah ta'ala. Idiom itu sangat jelas. Sejelas mentari. Aku memang khawatir dengan keadaanku. Mimpiku belum diraih. Cemas dengan karirku. Ya sudah kalau itu sebagai harga pengabdianku. Aku siap dan ikhlas menerima.

biarlah tumbuhan itu layu
tidak tersiram air keberuntungan
biarkan saja
di musim semi nanti segar kembai
**

Pandeglang, 16 April 2023  11.43

Posting Komentar

0 Komentar