Curhat Hari kelimabelas: Fahri, aku dan Kemiskinan


Setiap membaca novel Ayat-ayat Cinta, tokoh utamanya Fahri seringkali membuat saya baper. Fahri yang miskin mempunyai semangat belajar. Pemuda miskin yang sering minder kalau berurusan dengan wanita.

Hal yang selalu dicemaskan itu; siapa aku? Bukankah aku laki-laki miskin, apakah pantas meminang wanita seperti dia? Apa aku punya kantong cukup sekiranya menghalalkannya? Apa, apa, dan apa bisa?!

Itulah sebabnya, saat bertemu Nurul--aktivis dakwah-- anak bontot gurunya sewaktu mondok, Fahri ketar-ketir. Siapa yang tak terpincut dengan wanita berkacamata itu, sudah manis, pintar dan berprestasi lagi. Rasa itu hanya mengendap tanpa mau diperjuangkan. Minder duluan.

Atau Maria. Gadis Kristen koptik yang pintar juga humanis. Tidak hanya itu, pesonanya sering buat burung malu mengicaukan merdu suaranya. Maria sederet nama, sekalipun non-muslim dia hafal surat Maryam. Itu yang membuat Fahri bergetar, bergetar dadanya. 

Siapa sangka, jodoh itu mempertemukan Fahri dengan Aisha. Gadis cantik berdarah Jerman, Turki dan Palestina. Satu lagi, tajir! Konglomerat itu dibuat terpana dan tersentuh dengan sikap Fahri yang humanis lagi cerdas saat terjadi insiden di bus. Bibit cinta pun tumbuh. Apalagi saat keduanya dipertemukan di majelis ta'aruf. Aduh, siapa yang tahan!

Lagi-lagi, Fahri termenung. Aku pemuda miskin. Kuliah pun modal beasiswa. Penghasilan pun hanya dari honor tulisan tidak seberapa. Untukku cukup, sedang gadis bercadar itu? Fahri takut dengan ketakutannya. Walaupun ingin tapi kelas sosial  mereka jauh, jauh sekali. 

Itu Fahri, sedang aku apa? 

Aku bukan mahasiswa. Bukan penulis produktif yang punya honor tetap. Bukan pula perantau. Aku masih di sini, di desaku. Terus bermimpi, menulis harapan, dan membaktikan sepenuh cinta pada ibu-bapakku. Ya, aku terlalu miskin dibanding Fahri.

Kalau Fahri cemas, apa aku tidak lebih cemas? Di zaman ini, uang adalah alat. Uang memang bukan segalanya. Tetapi dengan uang seolah kita memiliki segalnya. Tidak semua wanita materialisme. Ada banyak wanita yang baik. Mereka bisa dan mau menerima apa adanya.

Namun, jangan menutup mata, apa walimah itu tidak butuh dana? Apa datang ke KUA cukup denga surat-surat saja? Apa meng-khitbah cukup senyum? No, semua harus dan perlu uang. Terus kalau miskin, uang di mana?

Di sinilah idealisme teruji. Keimanan dipertanyakan. Keberanian. Ketegasan harus dibuktikan. Tunggu dulu, apa sih definisi miskin. Apa miskin selama ini yang kita pahami. Atau ada alternatif lain terkait definisi miskin tersebut.

Tetapi kalau berkiblat kepada hadits nabi, bahwasanya bukan mereka yang kaya itu hartanya banyak. Kaya sesungguhnya itu saat kamu punya hati yang kaya-- yang bijaksana lagi berkarakter.

Itulah kenapa sekalipun nabi disebut "miskin", bukan berarti tidak punya apa-apa. Nabi itu ingin menampilkan gaya hidup sederhana. Kalau benar nabi itu miskin masa tiap tahun bisa berkurban sapi? Menjelang wafatnya di bulan Dzulhijjah mampu menyembelih 63 unta. Apa itu ciri miskin?

Ternyata miskin itu tidak semengerikan yang dibayangkan. Buktinya saat nabi menikah dengan ummul muslimin sayyidatina khadijah, tidak sama sekali gap. Justeru nabi mampu mengimbangi dan bijak akan hartanya.

Fahri pun setelah menikah dengan Aisha kecipratan kekayaan, sikapnya tidak katro. Terus, apa aku juga  akan ketemu sosok demikian?
Terlalu halu sih, tapi gak apa bermimpi. Haha. Intinya, semoga tidak berhenti dan berdaya guna sesuai apa yang Allah takdirkan. Terus semangat kamu. Eh, aku ya! Ha-ha. (**)

Pandeglang, 6 April  2023   22.36

Posting Komentar

0 Komentar