Jadi Guru Ngaji

Dokpri.

Jadi guru ngaji itu bukan cinta-cita saya. tidak pernah terpikir pun ke arah sana. Meski pun kakek adalah guru ngaji juga. Itu kan kakek, bukan saya.

Masa kecil saya adalah main-main. Tak jauh seperti yang lain-main. Sore ini main permainan ini, besok lain lagi. Kamu anak-anak kampung tak mengenal namanya ambisi, tidak mengenal cita-cita yang harus dikejar dan target hidup yang jadi misi utama.

Hidup kami tak ubahnya seperrti air mengalir saja. Belajar yang baik di sekolah, sorenya belajar di sekolah diniyah (baca: sekolah agama) dan malamnya mengaji al-Qur'an tak jauh dari rumah.

Hingga akhirnya, saya membaca novel-nya Kang Abik. Di sana kok saya seperti tercerabut dari kesadaran. Merasa terpanggil. Membaca buku-buku lain.

Puncaknya pas belajar ke Ustaz Ari. Di sana kami belajar dasar ilmu nahwu-sorof juga BTQ (baca tulis qur'an). Kurang lebih dua tahun. Setelah beliau pindah domisili dan saya tak mengaji lagi, meneruskan ngaji ke kakek.

Di sela ngaji ba'da magrib itu, saya sering melihat anak-anak yang tidak mengaji ke Ustaz Ari tidak mengaji ke mana-mana. Ba'da magrib tidak mengaji ke siapa-siapa.

Entah kenapa saya galau. Masa kanak itu masa produktif, masa di mana masih penuh harapan. Kalau sekarang tidak mengaji, bagaimana nanti. Berkecamuk dipikiran saya pertanyaan dan pernyataan.

Meski pun begitu, tidak saya indahkan. Saya berpikir banyak hal, apa pula saya memikirkan begini, ustaz bukan santri juga bukan. Bukankah ini kewajiban mereka yang tahu ilmu dan paham agama? Lah, saya siapa?

Kecamuk pikiran terus menghantui saya, tapi tidak saya curahkan ke siapa pun. Biarlah itu jadi beban pikiran saya. Entah kenapa, timbul dipikiran saya, sebuah ide: apa saya saja mengajar mereka?

Apa itu hanya sekedar ingin dan gagasan? Ternyata tidak. Semakin saya pendam, nampaknya saya makin galau. Akhirnya saya berani datangi beberapa anak-anak yang main itu, termasuk adik-adik saya.

Untuk apa? Saya ajak mereka mengaji bareng. Tidak banyak, hanya beberapa saja. Sebab, saya tahu diri kalau harus jadi guru ngaji. Dan terjadi apa yang diharapkan.

Saya mengajarkan apa yang saya dapatkan dari guru saya. Tiap hari begitu Qodarullah, hari per hari yang mengaji datang berbondong. Tentu saya kaget sekaligus heran, kok begini. Apalagi setelah diadakan muhadarah mingguan, di sana makin banyak.

Di sini sikap dan iman saya teruji. Tersiar suara yang tak enak di hati, ada yang bilang begini, ada yang begitu. Saya sendiri tak gentar, bagi saya ini biasa. Ujian bagi mereka yang punya cita-cita.

Tidak dengan Emak. Emak merasa tidak enak hati. Terjadi polemik di sini. Setidaknya dalam lokal kampung. Ombak pun terasa mendera jiwa. 

Saya pun galau.

Di puncak ini akhirnya memilih kerisauan Emak. Saya tahu apa yang saya lakukan baik dan benar, tapi membuat Emak nyaman mungkin itu yang lebih baik. Di sini pembenturan dakwah dan ketaatan, pengabdian dan pengorbanan.

Terhitung tigabelas tahun masa itu, masa awal berjuang. Kini, kakek sudah pergi, bapak sudah pergi dan perjuangan kakek estafet di genggaman. 

"Makin kadie, kok pada berkurang barudak," kata Emak suatu waktu.

"Nya Mak," jawabku.

"Parindah, nya. Kamari geh aya kolot ngomong kadie anak na rek pindah, cenah."

Ya udah, kataku. Ada berapa pun yang datang ngaji, bakal aku ajari. Kalau tak ada, ya udah. Wasiat kakek dulu kan begitu,

urang mah boga pangabisa jeng diri urang. Ari eta aya nu datang ka urang hoyong diajaran, maka ajaran. Aya hiji ajaran, aya dua ajaran. Kitu dei mun lebih. Kumaha mun te aya? Ya ntos, syukuran ku sorangan.

Demikianlah dinamika kehidupan. Ada saatnya di atas, ada saatnya di bawah. Kalau saat di atas perjuanganmu, maka jangan merasa tinggi hati. Begipula saat perjuanganmu di bawah jangan sedih hati. Pasti adanya berputar.

Jutsteru yang harus kamu pikirkan adalah, di mana pun keadaan, sudahkah kamu ingat Allah? Sudahkah tetap jiwamu di jalan-Nya? Tetapkah amalmu hanya untuk-Nya atau hanya demi dikenal?

Maka, pikirkanlah ini duhai jiwa. Semoga kau selamat dunia akhirat. (**)

Pandeglang, 30 Juni 2025   20.55

Posting Komentar

0 Komentar