Pelangi dari Pelukan Ibu

pelangi di Pelukan Ibu
Ilustrasi penulis tengah galau (sum. Dokumentasi pribadi)

Aku tidak pernah membayangkan rasa ini begitu dalam menancap di hati. Pada seorang wanita yang begitu saja hadir. Barangkali berbeda kalau orang terdekat, sejawat atau lingkungan pergaulan. Tapi ini, cinta yang terpaut usia cukup jauh dan terpisah jarak oleh laut.

Aku mencintainya dan aku katakan dia layak aku cintai maupun sayangi secara tulus. Itu pula yang dia rasakan. Itu yang sering kami katakan melalui  chat-chat seru kami di WhatsApp. Tiap hari. Tiap kami rindu. Begitu kami katakan.

Inilah masalahnya, rasa yang tumbuh ini berbenturan dengan kenyataan. Agama melarang rasa rindu. Sungguh, aku tidak ingin mengatakannya. Saat di mana perasaan menjadikan sepasang sejoli yang dibakar asmara.

"Kenapa kakak baru mengatakannya sekarang? Bukankah kita bersama bukan baru sehari!" Serunya.

"Iya, kakak paham. Ini salah kakak. Kakak terlalu jauh hanyut sehingga  mengabaikan ajaran Islam. Jelas Islam melarang laku pacaran!" Tegasku kepadanya. Berat sejujurnya, namun jauh lebih berat mana saat nanti dipertanyakan di mahkamah-Nya?

"PACARAN!" Teriaknya, "aku tidak  pacaran dan memang kita tidak pacaran. Kita bukankah sedang ta'aruf kak? Ya kita ta'aruf menuju cita-cita besar kita?" katanya berkaca-kaca. Rinai air mata mulai menjalari paras manis itu. Seseorang yang membuat malamku oleh kecamuk di dasar  jiwa.

"Bukan Dek, kita bukan ta'aruf. Kita Pacaran. Sebab, ta'aruf waktunya singkat dan ada kepastian. Satu lagi, ada perantara. Sedangkan kita apa? Tiap hari chat-an. Untuk satu soal yang agama benarkah membenarkannya."

"Kenapa kakak mengatakan ini di saat aku punya masalah? Di saat aku bangkit dari keterpurukan? Di saat aku, benar-benar menyayangi kakak! Di saat aku percaya kakak! Di saat aku siap menanti kakak, apa pun yang terjadi. Kenapa ini kakak katakan?!"

Aku terdiam. Membisu dengan jiwaku terasa sesak. Aku tidak ingin mengatakannya. Tapi aku merasa tersiksa atas resah. Resah sejauh memahami agama hanif ini, tidak ada yang memperbolehkan pacaran. 

"Tapi katak kakak, Syaikh Yusuf al-Qardawi membolehkan pacaran. Itu kakak katakan."

"Ya. Itu benar. Tetapi itu hanya pembenaran atas ketakutan kakak  kehilangan kamu. Kalau dikaji lebih dalam, tetap saja aturannya hanya  untuk mereka yang jelas menuju pernikahan. Singkatnya, PDKT yang singkat dan ketat."

"Kalau kakak takut kehilangan Dedek, kenapa mengatakan ini?"

"Kakak takut kepada Allah! Kakak malu bertemu Rasulullah dengan perasaan ini  tanpa diikatkan oleh risalah cintanya. Kakak sungguh merasa berdosa, tiap hari kita membaca ayat-Nya, di saat yang sama terus menodainya.

"Apakah, apakah merindukanmu dosa kak?" 

Pertanyaan itu membuatku terbungkam. Sakit sekali. Apalagi tangisnya membuatku serba salah. Di hati ini seperti ada belati karat menusuk. Setelah itu, dia pergi. Terluka oleh kejujuran. Tersakiti karena aku hanya menjanjikan tapi belum mampu meminangnya. Dia memahami keadaanku, di saat yang sama aku menghujamkan pisau tajam ke ulu hatinya! Sungguh, dosaku berlipat-lipat.

***

Satu bulan sudah kami diam dan tak pernah ada lagi chat-an. Tak ada obrolan. Kami membisu, meski dia tidak mengapus nomorku. Kadang aku melihat story-nya begitupula dia. Aku senang bisa melihat dia ceria mengajar murid-muridnya. Dia tumbuh lebih dewasa, apa yang aku takutkan tidak terjadi. Setidaknya, itu yang aku lihat entah apa  yang dia rasakan.

Sebulan ini aku serius menggarap novel perdanaku. Aku amat aktif di Komunitas Menulis. Kadang sering menginap dan bersemedi di markas-nya. Aku seperti gila, satu hari entah berapa tulisanku dikirim ke berbagai media. Baik lokal maupun nasional, bahkan internasional kalau bisa. Ada yang diterima, lebih banyak yang ditolak.

Sakit hatikah? Tidak, justeru lebih sakit hati jauh darinya. Aku bukan orang yang mudah berpaling hati. kalau sudah satu, sulit bagiku. Teman-temanku membanggakan prestasi-ku. Mentorku sering mengajaku safari, karena memang beliau sastrawan besar di Indonesia.

Tidak ada yang memahami rasaku. Aku pintar menutupi dengan senyuman. Tidak sedikit yang meminta aku ajari, tiap hari ada saja kunjungan bahkan sesekali seminar. Mereka bertanya prosesku berkarya. Ya, tak ada yang tahu. 

Hanya satu yang tahu, dia wanita. Seseorang yang amat aku cintai. Seseorang yang telah mengandung dan melahirkan terus mendidik dengan penuh cinta. Ia tahu bagaimana aku jatuh bangun untuk jadi diriku dan mendukung kejujuranku. 

Ialah ibuku!

"Kenapa tidak kamu kejar dia! Diam tidak akan membuat mengubah keadaan, selamanya. Kamu memang belum siap untuk menikah, tapi bukanya dia tahu itu?" 

"Iya, Bu. Dia tahu dan mau memahaminya."

"Lantas, kenapa harus kamu tinggalkan!? Anak ibu bukan pengecut yang lari dari kenyataan. Anak ibu dididik dengan cinta dan segenap perasaan. Agar menjadi orang bermanfaat. Di mana pun dia berada. Bukan penebar janji palsu!" Serunya dengan tegas. Aku hanya diam. Bingung dengan keputusanku.

"Tapi kan Bu, ada adik-adik menunggu perhatianku. Apa, apa itu tidak menganggu?"

"Lelaki ialah mereka yang siap menanggung resiko apa pun. Saat ada yang mau berjuang denganmu, jangan biarkan dia pergi. Selama dia mau. Selama dia tidak kamu paksa. Biarkan semua mengalir sampai di mana rasa itu menemukan jalan-Nya."

Aku sungguh menangis di depannya. Aku tak kuasa menahan kerinduan. Aku coba membunuh rasa ini, di saat yang sama sesak dada ini. Nafasku tersengal. Ibu memelukku. Pecah semua kesedihan ini. Aku menangis histeris di pundaknya. 

"Aku sayang Ibu!"

"Kembali padanya Nak, Semoga dia jodohmu. Ibu merestuinya." katanya dengan tangis lembutnya. Luka dari kejujuran pun menjadi pelangi indah. Lakal hamdu walakas syuru, lirihku. (**)

Pandeglang,  13 Mei 2023   17.28

NB: inpsirasi dari seseorang yang entah mengingatnya membuatku sering tersenyum.

Posting Komentar

0 Komentar