Jerit Wanita Terbelakang

Jerit wanita terbelakang
Dokumen pribadi

Saya lagi membaca buku-buku, di antaranya buku itu Para Penyintas dari Pamulang hingga Papua yang ditulis Ahmadun Yosi Herfanda dkk,. Buku itu kecil berisi 295 halaman. Kecil bukunya dalam isinya. Kumpulan cerpen. Menulis sisi gelap kaum perempuan yang kerapkali disudutkan. 

Sebagai pembaca saya terenyuh, betapa kenyataan pahit itu ada dan perempuan menjadi korbannya. Sedihnya tak berkutik apa-apa, hanya diam sambil mengumpat dalam hati.

Pernah suatu ketika melihat di depan saya sendiri seorang perempuan dilecehkan, dia saya kenal dan dia mengenal saya, dia tampak merah menahan kesal. Malu juga ke saya. Saya pun sungguh malu. Tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal bisa saja melakukan untuk menghentikannya.

Ini tidak jauh beda di halaman 35, cerpen berjudul Di Kafe Langit menceritakan pengalaman Dee yang hampir jadi korban pemerkosaan. Untungnya ia bisa selamat. Allah menjaganya. Tetapi di tempat sekapan-lokalisasi terlihat orang yang bernasib tidak baik. Mereka menjadi sapi perah para mucikari.

Membaca cerita itu saya meliha dua hal:  pertama, banyak sekali korban dipersalahkan. Mereka bukannya dibantu dan diberi motivasi untuk menguatkan dirinya. Justeru sebaliknya, mereka menjadi korban perundungan.

Kedua, kita jarang mengutuk pelaku. Seharusnya pelaku adalah orang pertama yang perlu diberi sanksi, baik moral maupun hukum. Lebih dari itu harus sama-sama membangun lagi pikiran sehat baik dari korban dan masyarakat. Mengambil hikmah agar tidak terjadi kejadian pilu tersebut.

Sampai di sini, ada tugas besar yang harus kita lakukan. Bagaimana banyak nasib tragis di sekitar kita dan kita tidak berdaya untuk melakukan apa-apa. Walaupun begitu, kita harus melakukan sesuatu. Apa pun itu. (**)

Pandeglang,  9 Mei 2023   22.05

Posting Komentar

0 Komentar