Kitab Kuning

Kitab kuning
Dokumentasi pribadi

Membaca kitab kuning itu sulit. Dikatakan sulit juga banyak yang bisa membaca. Jadi, tergantung orangnya seperti apa dan prosesnya bagaimana. Begitu kata guru ngaji saya. Ukuran mustahil tergantung upaya, metode dan semangatnya.

Di wilayah saya sendiri, bisa membaca kitab itu sebuah kebanggaan. Meskipun kita belum tahu sejauh mana pemahamannya terkait isi dan pemaparan materi kitab kuning itu. Wajar, karena memang kitab kuning itu "arab botak" yang tidak setiap orang mampu mengaksesnya.

Di masyarakat sendiri punya posisi istimewa. Siapa yang mampu membaca maka dia boleh diberi gelar ustadz. Sederhananya, untuk mampu membaca kitab botak itu harus bisa menguasai ilmu alat dan nahwu. Dua hal itu dikatakan dasar.

Sedangkan bagi teman-teman saya yang pernah mengecup ilmu di beberapa pesantren besar di Jawa, bisa membaca kitab kuning itu biasa saja. Bisa membaca saja tidak cukup. Harus juga bisa memahaminya. Mampu menyampaikannya pula ke pendengar dengan baik. Dengan referensi yang cukup dan mampu dipertanggungjawabkan. Barulah pantas tidak biasa. 

Tidak serta-merta mereka yang pulang dari pondok, bisa baca kitab boleh dipanggil ustaz. Sebab gelar usataz bukan sembarangan. Ada beban moral dan sosial di sana. Biarkan itu diberikan kepada mereka yang memang layak bukan siapa yang merasa "sudah layak".

Untuk itu, di Jawa ada tes atau pengujian mereka yang akan naik kelas untuk mengkaji kitab tertentu. Ada struktur jelas dari kitab rendah sampai yang tinggi. Semua harus dijalani dan diuji, kalau mampu baru boleh pindah kitab. Kalau belum, maka harus mengulang di ujian selanjutnya.

Kita baru bicara lingkup proses pembelajaran kitab kuning di Pulau Jawa, belum kelas Nusantara. Walaupun harus dicatat, Pulau Jawa bisa menjadi acuan karena sering menajadai sentral dari wilayah laim di berbagai daerah di Indonesia.

Kalau sudah begitu, kenapa karya Ulama kita sekarang kurang terlihat dan dilihat oleh Ulama luar? Kita lebih suka merujuk Ulama luar yang harum di dunia, sedangkan Ulama kita yang sudah keluar pun seperti kurang percaya diri dengan kemampuannya?  Sebatas bacaan saya, belum kita dengar Ulama kontemporer Indonesia sekarang karyanya dijadikan rujuan Ulama dunia?

Semisal dengan ulama beken seperti Syaikh Nasiruddin Al-Albani, Syaikh Tayyib, Syaikh Ali Jum'ah, Syaikh Al-Ghumari, Habib Umar bin Hafidz, Syaikh Ramadhan Al-Buthi, Syaikh Yasin Al-Padani, dan masih banyak lagi.

Tetap sampai saat ini kita lebih membanggakan kebanggaan pendahulu kita seperti Syaikh Nawawi, Syaikh Yusuf al-Maqasai, dan Ulama besar lain yang sejarah mencatat namanya begitu indah. Tetapi siapa estafet yang membawa kebesaran nama besar Ulama besar itu? Padahal tidak sedikit putera bangsa sekarang yang sudah mengecup ilmu di berbagai negara tetapi belum mampu bersaing. Ya, ini terasa jomplang.

Itu yang saya baca dari buku Ustaz Sarwat yang sayangnya lupa apa judulnya. Saya lupa, bahwa nama besar itu butuh proses besar dan pikiran besar. Di zaman sekarang kalau memang ingin besar kita harus menggenggam dunia.

Apa itu harus dengan kekuasaan atau politik?

Barangkali ya, setidaknya itu yang kita lihat. Sayangnya melahirkan banyak konflik-konflik berdarah dan Islam kerapkali dituduh dengan stigma yang pahit. Alangkah baiknya, jalan keilmuan yang harus dituju dengan pendekatan budaya. Biar corak kebudayaan terasa lebih bersahabat juga menggembirakan.

Tidak perlu merubah Islam sebagai sebuah Ilmu yang digemborkan Prof Dr. Kuntowijoyo. Tidak perlu Islamisasi atau pribumisasi Islam juga seperti cendekiawan Muslim Indonesia yang masih populer sampai sekarang. Islam cukup ajaran Islam saja yang Paripurna. Tidak dibuat-buat. Apa adanya.

Sayangnya, kondisi sekarang tersekat oleh pengelompokan. Beda kelompok beda cara. Cara ini kadang dibenturkan. Jangankan untuk hal besar, untuk pilihan politik saja kita dipusingkan oleh istilah pengkerdilan. Surga dan neraka pun sering "diobral". Begitu pula untuk soal Idul Fitri tiap tahun terus jadi obrolan panas.

Bukan, bukan salah Islamnya. Bukan pula Umatnya. Barangkali kita lebih "merasa besar" pada jadinya itu klaim belaka. Mindset kita tidak jarang ditarap "pemahaman kitab" bukan lagi "mengaktualisasikan ajaran" itu. 

Sudah saatnya kita mencari tahu, apa sebabnya bersama-sama. Tidak usah mencari kambing hitam atas persoalan bangsa kita tetapi harus sama-sama memperbaiki kualitas berbangsa kita. Dari kitab kuning mungkin bisa dijadikan sabab pertemuan obrolan hangat. Para pendahulu kita sering berbeda pandangan tetapi pandangan itu melahirkan peradaban. Sudahkah sekarang perbedaan itu membuat kita makin produktif? (**)

Pandeglang,  10 Mei 2023   20.58

Posting Komentar

0 Komentar