Di Rumah Dunia, Apa Yang Kamu Cari?

Teman-teman Kelas Menulis Rumah Dunia (Dok. Pribadi)

Minggu ini aku tidak hadir di kelas menulis, di pertemuan ke 10, kalau benar. Tidak salah kalau kalian tidak menemukan aku di sana. Ada sebab dan hal yang aku lakukan, begitulah. Tidak terasa ya, kebersamaan kita di Rumah Dunia sudah menginjak titik akhir. Dari yang tadinya lumayan ke menyusut dan tersandera kepentingan, kesibukan masing-masing.

Dua bulan bukan waktu yang singkat bagi aku melihat dan mengirup udara Rumah Dunia. Aku melihat penulis muda di sana, sastrawan besar mengajari di sana, dan banyak hal lain. Sebagai orang yang baru keluar dari pintu rumah, ada hal yang buat terkesan lagi membekas. Dan itu, rajin kutuliskan di blog.

Ada relawan yang seperti sahabat dan bersahabat, tidak peduli siapa kamu dan bapakmu siapa. Ya, tidak harus kamu harus memperkenalkan sejujurnya kamu, entah jomblo atau tidak, asal kamu manusia dan ingin belajar gerbang terbuka lebar. Selebar mimpi tokoh pers yang Pramudya tulis di novel Bumi Manusia-nya, tapi keburu meninggal ditekan kekuasaan kolonial.

Baca selengkapnya : 
Sakit : Emak, Dia Sampai Ke Resesi Ancaman Kepunahan

Rumah Dunia memang tidak menjanjikan hal muluk, asal kamu belajar dan rajin berlatih maka bersiaplah menjemput masa depan. Tidak harus cemerlang minimal ada cahaya di hidupmu.

Cahaya itu akan menuntun pada apa yang pepatah katakan praktik membuatmu sempurna. Sempurna butuh modal, modalnya ada dan warungnya tersedia. Simbiosis mutualisme istilah Pak Deden dulu sewaktu SD.

Ke Rumah Dunia apa yang kamu cari?

Itu kutipan yang aku ambil dari sebaris kalimat di gerbang Pondok Gontor di Jawa sana yang telah melahirkan putera terbaik bangsa. Rasanya kalau itu kalimat yang agak menohok dihadapkan padamu, apa yang akan kamu jawab?

Aku sendiri akan menjawab ringan: ingin belajar. Mungkin polos jawabnya. Ya, terserah, itu hakku. Aku memang suka yang polos. Aku termasuk orang yang punya takdir yang berbeda denganmu. Tidak aku sesali. Sudah berulangkali aku katakan, aku tidak mengecup sesuatu. Aku tidak rendah diri pun merasa rendah, dan tidak memandang kalian sebelah mata. Sebab mataku dua, dan keduanya aku gunakan melihat semampu aku bisa.

Bagiku belajar adalah nikmat. Tidak semua orang bisa dan punya kesempatan. Tiap minggu bisa memacu andrenalin dengan melihat realitas sosial sepanjang Pandeglang dan Kota Serang. Aku melhat ketimpangan sosial; ada si Miskin vs Kaya. ada si Jelek vs Kaya, ada si Jomblo Vs Sejoli, ada si Taat vs Laknat. Semua nyata di depan mata. Jadilah blog-ku penuh coretan ragam macam.

Sepanjang perjalanan kadang jiwaku membuncah, kadang juga sesak tiada tara betapa aku melihat problem lingkungan dan sosial hanya menggerutu sambil bengong, tidak mampu bergerak. Ya, dari  RD aku menyadari tugasku sebagai hamba tidak sesederhana: prok-prok jadi apa, hayo!?

Buku-buku yang aku baca di RD dan lingkungan diksusi pegiat literasi yang tak sengaja aku temui di sana, buatku galau melebihi Sok Hok Gie di Catatan Seorang Demonstran-nya. Sebab, seperti kata Ahmad Wahib, Gie itu hanya orang resah. Resah dengan lingkungan yang tidak sesuai ekspetasinya.

Untuk itu, Prof. Kuntowijoyo di kata sambutan kumpulan tulisan Gie mengatakan, zaman Gie dan kita sekarang berbeda. Masa itu demokrasi tidak sehangat sekarang, bahkan tidak ada UU ITE. Kita boleh mengambil semangatnya tetapi perlu pintar menempatkan sikap-sikap vokal Gie di era serba-serbi sekarang, apa masih relevan atau tidak.

Senada dengan itu Ibnu Khaldun di buku Mukadimah-nya yang lumayan tebal menjelaskan, melihat sejarah itu perlu tahu aspek-aspek lain. Baik faktor sosiologis, arkeologis, geografis dan antropologis-nya. Ibnu Khaldun banyak mengkritik sejarawan di masanya yang tidak hati-hati menyampaikan data sejarah dan faktor di balik peristiwa itu.

Rumah Dunia selalu punya arti, apalagi 21 tahun bukan waktu sebentar mengandung, melahirkan, dan merawat anak-anak bangsa agar lebih peduli dengan aktivitas literasi. 6 Kecakapan dasar yang sering Mas Gong katakan di bukunya, di antaranya kemampuan mendengarkan, menuliskan, dan  berbicara adalah modal awal kita sebagai manusia. 

Sejauh ini aku belajar di RD, ada tawaran-tawaran untuk aku masuk ke media tapi aku masih berpikir. Sebenarnya tidak aneh sih kalau jebolan Rumah Dunia masuk ke media atau kampus. Aku sedikit tahu nama-nama alumni RD yang sudah melanglang dunia, yang aktif di media, penulis lepas dan lainnya. 

Hal itu pula kadang buatku berpikir, setelah mereka--- kanda senior kita kalau boleh disebut---akan ke mana kami angkatan KMRD 38 menjawab tantangan zaman?

Apa masih stagnan di aktivitas menjemukan sehari-hari atau memacu diri agar punya sayap untuk menghirup aroma perdaban modern yang penuh persaingan ini? Selanjutnya menyalip keberhasilan pendahulu-pendahulu alumni Rumah Dunia. Atau hanya mengekor sambil kedip mata jiwa dan mata-mata

Bisakah?

Indonesia punya bonus demografi tinggi menyongsong masa-masa digitalisasi 4.0. Apakah kita akan jadi hero atau zero yang tertatih di perdaban penuh keterbukaan ini. Sampai apa-apa dibuka, di buka untuk jadi konsumsi semua.

Semua tinggal kita pilih, dan sebaik-baik manusia itulah mereka yang bermanfaat. Untuk dirinya dan sesamanya. Itu pesan masyhur tertera hadits Nabi. Wallahu'alam. (**)

Pandeglang,  22 Mei 2023     23.47  

Posting Komentar

0 Komentar