Berhenti Mencintai


Berhenti mencintaimu itu bodoh. Ya, setidaknya bagiku. Aku yang harus melepas rasa saat semuanya tengah tumbuh dan makin menjadi. Lelah sekali.

"Jauh laki-laki itu," tegas bapak. Seperti biasa dengan ancaman yang buatku jengkel setengah mati.

Ada apa dengan laki-laki itu? 

Heem, mungkin bapak benar kak, izinkan aku melupakanmu, sekarang. Jangan ungkap apa yang kita jalani. Biarkan aku pergi dengan luka ini. Dengan kenyataan ini, sungguh, lepaskan aku. Aku tidak bisa terus bertahan, apalagi memeluk luka ini tanpa restu bapak.

"Pergi kak, lupakan semuanya. Kita ulang semuanya seperti kita tidak saling kenal." Pintaku setengah memaksa.

Aku ingat, kamu tak bergeming. Membisu dengan wajah penuh awan duka, berkaca-kaca. Demikian jiwaku, remuk mengatakan itu. Tapi aku wanita, yang tak leluasa berkiprah.

"Aku tahu dia anak tokoh agama. Aku tahu siapa kamu? Seperti apa kerasnya sikap bapakmu. Akan tetapi, apa aku tidak boleh memperjuangkan rasa ini? Berikan aku kesempatan."

Baca selengkapnya : 
Sakit : Emak, Dia Sampai Ke Resesi Ancaman Kepunahan

"Kumohon kak, pergi, pergi. Aku, mecintaimu. Ya, itu nyata, tapi cinta saja redup cukup melihat kenyataan kak. Kumohm pergi kak?!"

"Setelah selama ini kita berjuang? Kita bersama, apa artinya di matamu, hah? Kamu..." tangisnya meremukkan jiwaku. 

Ini memang salahku kenapa bisa terlalu jauh memberi ruang padamu. Ya, padahal ada jurang jelas, aku anak gurumu dan kamu santri yang nakal. Kamu nakal kak! Kamu bukan orang spesial. Mungkin lain lagi kalau berprestasi, mungkin bapak agak berpikir lain teerkain lain.

Bodohnya, aku suka kamu. Aku suk yang apa adanya. Kamu yang tak lagi beda. Aku risi melihat mereka yang memujaku sebagai "anak orang besar", lantas aku menikmati fasilitas lainnya.

Ah, hari yang menjengkelkan. (**)

Posting Komentar

0 Komentar